MELIMPAHNYA keberagaman budaya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan kerajinan tangan hasil warisan leluhur. Tenunan, kain songket, juga kain tradisional daerah menjadi contoh warisan budaya yang sampai saat ini dilestarikan keberadaannya.
Sumba menjadi salah satu daerah dengan kekayaan budaya yang melimpah. Daerah yang berada di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini tidak hanya terkenal akan keindahan alamnya, Sumba juga dikenal dengan produk kebanggaannya yaitu Kain Tenun Sumba.
Tak hanya menjadi warisan budaya lokal, kain tenun Sumba juga sudah tercatat menjadi salah satu warisan budaya dunia yang diakui UNESCO (Organisasi Dunia untuk Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan).
Kain tenun Sumba memiliki 2 jenis yaitu hinggi dan lau. Hinggi adalah kain lebar dan panjang yang biasanya digunakan oleh laki-laki dengan cara dililitkan di pinggang dan digantungkan di pundak. Sedangkan lau adalah kain berbentuk sarung yang dikenakan oleh perempuan dengan cara mengapitnya di ketiak kiri lalu dilipat di bagian pinggang atau disangkutkan di pundak kiri.
Makna dari Motif Tenunan Kain Sumba
Bagi masyarakat Sumba, motif dan pewarnaan yang diciptakan di setiap tenunan beragam dan memiliki filosofi yang berbeda pula. Bentuk motif yang diciptakan tidak terlepas dari aspek kehidupan manusia. Biasanya melambangkan alam, hewan dan benda-benda yang berpengaruh di kehidupan. Misalnya tenunan dengan motif kuda merupakan simbol harga diri bagi masyarakat Sumba. Filosofinya menggambarkan kepahlawanan, keagungan, dan kebangsawanan.
Lalu ada motif buaya atau naga menggambarkan kekuatan dan kekuasaan raja, motif ayam melambangkan kehidupan wanita dan motif burung, umumnya kakatua, melambangkan persatuan. Selain itu, pada kain-kain yang kuno dijumpai pula motif mahang atau singa, rusa, udang, kura-kura, dan hewan lain.
Saat upacara pemakaman, orang yang meninggal dibaluti kain tenun dengan motif udang. Udang diyakini masyarakat setempat memiliki makna kebangkitan setelah kematian dan kehidupan abadi setelah dari dunia fana.
Selain itu, proses pewarnaan pada kain tenun Sumba juga menggunakan pewarnaan alami. Para penenun biasanya memakai akar mengkudu untuk mendapatkan warna merah, biru dari nila, cokelat dari lumpur, dan kuning dari kayu.
Proses Pembuatan Kain Tenun Sumba
Keunikan kain tenun Sumba membutuhkan pengerjaan dengan waktu yang cukup lama. Pembuatan satu helai kain biasanya dikerjakan oleh 3 hingga 10 perajin. Prosesnya dapat memakan waktu lebih dari 6 bulan, bahkan hingga mencapai 3 tahun.
Tahapan yang dilalui juga sangat panjang. Ada 42 tahap yang dimulai dari mencari kapas untuk bahan pembuatan benang, memintal bahan menjadi benang, pewarnaan benang, menenun, membuat motif, hingga finishing. Tak heran, Kain tenun Sumba dibanderol dengan harga yang tinggi.
Peran Kain Tenun Sumba dalam Kehidupan Masyarakat
Tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari, kain tenun Sumba memiliki peranan penting dalam kegiatan masyarakat Sumba. Biasanya digunakan untuk acara adat atau acara penting seperti penyambutan kelahiran, perayaan pernikahan dan upacara orang meninggal.
Kain tenun Sumba tercipta dari tradisi budaya yang turun temurun dari nenek moyang. Anak-anak di Sumba sudah diajari menenun sejak umur 8 tahun. Setiap helai benang pada kain tenun Sumba memiliki makna mendalam bagi masyarakat Sumba.
Pengerjaannya dilakukan oleh para perajin gadis dan ibu-ibu yang menjadikan pekerjaan ini sebagai sumber kehidupan untuk menyekolahkan anak-anak atau untuk menghidupi keluarga.
Proses pengerjaan yang lama dari kain tenun Sumba ini juga membutuhkan kesabaran dan keuletan. Inilah yang menjadi alasan bahwa tenun Sumba tidak hanya dilihat dari nominal dan waktu pengerjaan yang dibutuhkan saja, tetapi nilai dari makna setiap untaian yang dikerjakan sehingga tenunan ini sangat memikat, istimewa, dan bernilai harganya.
KOMENTAR ANDA