Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

RATA-rata orang yang beragama memahami bahwa manusia itu hidup di dunia, lalu menjalani kematian, kemudian dihidupkan lagi di akhirat. Berlainan dengan kalangan ateis yang meyakini manusia hanya hidup sekali dan kemudian mati, lalu berakhirlah segalanya. Kehidupan setelah kematian tidak ada dalam kamus mereka, akhirat pun tidak masuk di benaknya.

Faisal Ismail dalam buku Studi Islam Kontemporer menerangkan, bahwa bagi kaum materialis-ateis, kehidupan manusia di dunia ini berakhir pada saat terjadi kematian (ruh lepas dari jasadnya), lantas manusia dikubur, badannya hancur dan lebur berbaur dengan tanah, setelah itu selesailah sudah. Bagi kaum materialis-ateis, kematian merupakan peristiwa alamiah yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan yang Ilahiah.

Bagi mereka, tidak ada akhirat, tidak ada kehidupan yang kekal di akhirat itu. Dalam lubuk perasaan mereka, tidak ada pertanggungjawaban mereka kepada Tuhan atas segala perilaku dan perbuatan mereka di dunia karena mereka tidak memercayai-Nya.

Perihal kehidupan setelah kematian bukanlah barang baru dalam pembahasan teologis. Buya Hamka pernah menjelaskan, bahwa apabila telah masuk ke dalam lingkungan agama, walau agama yang mana jua pun, kita mesti bertemu dengan kepercayaan kepada hari akhirat.

Agama Mesir kuno memercayai bahwa di belakang hidup sekarang ini ada hidup lagi. Kepercayaan inilah yang menimbulkan kepandaian membuat mumi. Supaya tahan -pada hemat mereka- badan kasar ini menerima hidup yang akan datang itu, dan berjumpa kembali dengan nyawanya.

Kepercayaan Tiongkok kuno pun demikian pula. Kepercayaan Hindu yang pada mulanya mengakui reinkarnasi (perulangan hidup), mengakui juga bahwa kesudahannya roh manusia akan kembali ke dalam Brahman, yaitu kesatuan segala. Dan kepercayaan agama Budha kepada nirwana setelah melalui berbagai-bagai sengsara.

Namun diskusi ini menjadi amat menarik, kalau dibahas surat Al-Baqarah ayat 28, yang artinya, “Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”

Apabila dirumuskan, ayat ini mengabarkan fase yang dilalui setiap insan: mati-hidup-mati-hidup lagi, atau melalui dua kematian dan dua kehidupan. Sekilas ini agak membingungkan mengingat yang lazim diketahui manusia itu fasenya: hidup-mati- hidup lagi di akhirat. Namun, sejatinya ayat tentang dua kematian dan dua kehidupan ini dapat dipahami logika.

Terlebih dahulu perlu direnungkan penegasan dari Ahmad Musthafa al-Maraghi, bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang fasik, yakni orang-orang tersesat. Hal ini Allah ungkapkan setelah Dia mengecam mereka dengan sifat-sifat yang paling buruk, yakni tukang merusak janji, memutuskan perintah Allah yang seharusnya dihubungkan, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Ringkasnya, apakah kita mau tergolong sebagai orang yang tersesat apabila tidak meyakini tentang keterangan dari ayat ini?

Dengan bersumber dari Ibnu Abbas, Ad-Dhahhak mengatakan, “Dulu, sebelum dia menciptakan kamu, kamu adalah tanah, dan inilah kematian. Kemudian Dia menghidupkan kamu sehingga terciptalah kamu, dan inilah kehidupan. Setelah itu Dia mematikan kamu kembali, sehingga kamu kembali ke alam kubur, dan itulah kematian yang kedua. Selanjutnya Dia akan membangkitkan kamu pada hari kiamat kelak, dan inilah kehidupan yang kedua."

Fase kematian pertama inilah yang tiada disadari, dan sayangnya, tidak pula dipahami oleh kebanyakan orang. Padahal fase ini amatlah penting karena manusia itu dari tiada menjadi ada. Dahulunya kita adalah tanah, yang saripatinya menjadi nuftah lalu menjadi janin di dalam rahim.

Ketika itu kita masih mati, belum diberi kehidupan, dan tidak bernyawa. Kemudian Allah meniupkan ruh sehingga manusia terlahir dan masuk kepada fase kehidupan pertama yang sementara di dunia nan fana. Ya, yang saat ini tengah kita jalani bersama-sama!

Nanti, di kematian kedua kita pun akan sendirian, dikubur dan kembali lebur ke dalam tanah. Dari tadinya ada manusia kembali menjadi tiada. Dan segalanya tidak berakhir sampai di dalam kubur, masih ada kehidupan kedua di akhirat, yang mana itulah kehidupan yang abadi; antara di surga atau neraka.

Berhubung kita pernah mengalami kematian pertama, sebagai alam ketiadaan, maka manusia hendaknya lebih siap menghadapi kematian kedua, yaitu gerbang menuju kehidupan yang abadi.

Karena kita telah merasakan kehidupan pertama yang fana di dunia, maka dari itu manusia hendaknya lebih fokus mempersiapkan kehidupan kedua yang kekal. Apabila dua fase kematian dan dua fase kehidupan ini diingkari, niscaya kita telah tersesat dari kebenaran yang diterangkan Tuhan.

 




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur