Nama besar Dewi Sartika tidak hanya membahana dalam perjuangannya menaikkan derajat perempuan. Ia adalah aktivis penuh integritas yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan/ Net
Nama besar Dewi Sartika tidak hanya membahana dalam perjuangannya menaikkan derajat perempuan. Ia adalah aktivis penuh integritas yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan/ Net
KOMENTAR

"Ieuh barudak, ari jadi awewe kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup!"

KALIMAT tersebut masyhur di tengah masyarakat Sunda. Kalimat yang berarti "Anak-anakku, menjadi perempuan haruslah mempunyai banyak kepandaian agar bisa (bertahan) hidup!" itu diucapkan Dewi Sartika, perempuan asal Tanah Pasundan yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada tahun 1966.

Jauh sebelum itu, pemerintah Hindia Belanda telah menghadiahkan medali Orde van Oranje-Nassau pada tahun 1939. Sebuah penghargaan dari Kerajaan Belanda yang diberikan kepada orang-orang yang berkontribusi luar biasa dan istimewa.

Penghargaan itu tak lepas dari kiprah Sakola Istri, sekolah khusus perempuan bumiputra yang didirikan Dewi Sartika tahun 1904. Sakola Istri pada awalnya memiliki murid-murid yang merupakan anak dari para pegawai rendah di Kabupaten Bandung. Dewi Sartika turun mengajar langsung angkatan pertama yang berjumlah 20 murid, bersama Ny. Poerwa dan Nyi Oewid.

Selain keterampilan rumah tangga, Sakola Istri juga mengajarkan bahasa Belanda, pemahaman agama, dan keterampilan lain seperti keperawatan. Sempat dua kali berganti nama, Sakola Istri terakhir berubah nama menjadi Sakola Raden Dewi pada tahun 1929. Sekolah ini kemudian menerima murid dari berbagai daerah di Nusantara.

Lahir di Cicalengka, 4 Desember 1884, Dewi Sartika merupakan keturunan priyayi Sunda. Ayahnya, Raden Rangga Somanagara, seorang Patih Bandung. Ibunya, Rajapermas, putri R.A.A. Wiranatakusumah IV, Bupati Bandung kala itu. Tak ada yang menyangka anak kedua itu kemudian tumbuh menjadi sosok inspiratif dan mendapat perhatian dari seluruh Nusantara bahkan pemerintah kolonial Belanda.

Dalam buku biografi Dewi Sartika karya Rochiati Wiriaatmadja yang diterbitkan tahun 1986 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan proyek Pembinaan Pendidikan Moral Pancasila, ditulis bahwa sang ayah tergolong priyayi yang berpikiran maju, seorang pionir dalam urusan menyekolahkan putra-putrinya. Sementara di masa itu, menyekolahkan anak—terutama anak perempuan, tergolong visioner.

Kelebihannya dalam bidang pendidikan dan pengajaran sangat menonjol karena di usia 10 tahun, ia sudah mengajarkan baca tulis kepada anak-anak di daerahnya. Itulah prestasi menakjubkan bagi seorang anak perempuan Hindia Belanda.

Namun, baru sampai kelas dua Eerste Klasse School, Uwi—panggilan akrab Dewi Sartika—harus berhenti dari sekolah karena insiden menimpa orangtuanya. Pemerintah kolonial mengasingkan Raden Somanagara ke Ternate setelah dituduh terlibat dalam sabotase acara pacuan kuda untuk melukai Bupati Bandung yang baru, R.A.A. Martanegara.

Dewi Sartika kemudian dititipkan ke paman dari pihak ibunya, Raden Demang Suria Kartahadiningrat yang merupakan Patih Cicalengka. Banyak orang belajar tentang kehidupan priyayi dari keluarga Suria Kartahadiningrat.

Sayangnya, karena orangtuanya dianggap membawa aib bagi keluarga besar, Dewi Sartika diperlakukan semena-mena di rumah tersebut. Ia mendapat kamar di bagian belakang rumah layaknya seorang pembantu rumah tangga.

Dewi Sartika juga dibebani banyak pekerjaan domestik. Dan yang paling menyakitkan bagi seorang yang pernah mengecap bangku sekolah adalah mengantarkan sepupu-sepupu untuk belajar bahasa Belanda tanpa diizinkan ikut belajar.

Namun Dewi Sartika memiliki kelebihan yang tidak dimiliki banyak saudara-saudara perempuannya, yaitu bisa membaca. Ia juga menguasai beberapa pengetahuan seputar kesehatan, kewanitaan, dan lainnya.

Hidup di Cicalengka membuat jiwanya bergejolak. Dewi Sartika menyaksikan betapa tidak adilnya anak laki-laki diizinkan belajar baca tulis dan mendapat pendidikan yang baik, sementara anak perempuan hanya belajar keterampilan rumah tangga.

Ia melihat sendiri bagaimana sang ibu tidak mampu menyelamatkan keutuhan keluarga dan menyelamatkan harta benda mereka saat ayahnya ditangkap dan diasingkan. Tanpa membaca, wawasan, pengetahuan, dan pola pikir manusia tak akan bisa meluas dan berkembang.

Maka di usia 20 tahun, ia meminta izin kepada Bupati Martanagara untuk membuka sekolah untuk putri Priangan. Meski awalnya ragu, Bupati Bandung itu akhirnya menyetujui sekolah dibuka di pendopo kabupaten. Sakola Istri pun resmi dibuka pada 16 Desember 1904. Sakola Istri atau Sekola Kautamaan Istri mengusung konsep cageur (sehat), bageur (baik), bener, (benar), pinter (pintar), dan wanter (percaya diri).

Dewi Sartika juga dihormati pemerintah Belanda. Sosok perempuan itu dikenal sebagai perempuan pejuang perbaikan derajat kaum perempuan. Ia mengkritik bagaimana kolotnya pemikiran priyayi Sunda terhadap perempuan. Ia menginginkan perempuan Priangan menjadi manusia cerdas, independen, dan mandiri.

Dewi Sartika mengajak perempuan untuk menjadi pandai dalam berbagai bidang kehidupan sekaligus menuntut kesempatan yang adil bagi perempuan mendapatkan pendidikan dan pelatihan.

Dewi Sartika pernah menulis: "Alangkah sedihnya mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, karena orang yang demikian ibarat hidup dalam kegelapan atau umpama orang buta yang berjalan di tengah hari. Maka jika jadi perempuan harus bisa segala-gala."

Dalam buku Raden Dewi Sartika karya E. Rokajat Asura yang terbit tahun 2019, ditulis bahwa ketika Sekola Istri menuai kecurigaan pemerintah kolonial Belanda, Dewi Sartika berhasil meyakinkan Inspektur Pengajaran Hindia Belanda C. De Hammer untuk mendukung kiprahnya.

Dewi Sartika juga mendapatkan dukungan dari tokoh pergerakan nasional H.O.S Cokroaminoto. Tantangan dan hambatan justru datang dari keluarga yang menganggap tabu anak perempuan mengenyam pendidikan. Dewi Sartika bahkan bersitegang dengan Sosrokartono dan Kardinah, kakak dan adik R. A. Kartini. Hal itu membuktikan bahwa kekolotan feodal memang tidak hanya terjadi di tanah Pasundan. Namun sekaligus membuktikan perjuangannya mendapat apresiasi secara nasional.

Jelang akhir hayatnya, Dewi Sartika menderita penyakit gula kronis. Wafat pada 11 September 1947, Dewi Sartika mewariskan semangat dan kesempatan berharga untuk emansipasi perempuan di Indonesia. Pola pikir dan visi misi Dewi Sartika yang maju diapresiasi oleh Wali Kota Bandung saat ini, Oded M. Danial.

Dan sebagai penghargaan atas perjuangan Dewi Sartika sekaligus mengenang peristiwa sejarah, pemerintah kota Bandung bersama Korps Alumni Daya Mahasiswa Sunda (Kadamas) merestorasi monumen Dewi Sartika yang berada di Taman Dewi Sartika Balai Kota Bandung. Monumen ini juga merupakan satu destinasi wisata sejarah bagi masyarakat, terutama bagi para pelajar.

Sakola Istri menjadi bukti kepedulian dan prinsip Dewi Sartika dalam bidang pendidikan. Juga bukti nyata untuk menjawab segala keresahan dalam dirinya tentang ketimpangan pendidikan yang belum merata. Dan prinsip tersebut masih sangat relevan dengan kehidupan kekinian masyarakat.




Perempuan Melek Literasi Keuangan Berperan Besar dalam Membangun Ekonomi Keluarga dan Negara

Sebelumnya

Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women