MATA sang istri berkaca-kaca menerima hadiah sekotak peralatan kecantikan dan kosmetik lengkap. Sepanjang usia pernikahan mereka, baru kali ini ia menerima hadiah yang berhubungan dengan kecantikan. Selama ini, berulang kali suaminya mengatakan sang istri tetap cantik meski tak banyak memoles wajah. Meski istrinya hanya memakai bedak dan wewangian yang dibeli di minimarket dekat rumah.
Namun sang istri merasakan getaran berkecamuk di hatinya saat melihat paket kosmetik itu. Ia mengetahui bahwa tabarruj adalah sebuah hal tercela yang dikecam karena menjadi bagian dari tradisi jahiliyah. Rasa hati ingin terlihat cantik dengan berdandan lengkap, tapi ia pun tak ingin berdosa.
Namun bukankah tampil bagus dan layak di hadapan orang lain juga satu tanda bahwa kita menghargai orang tersebut? Bukankah nama suami pun bisa menjadi buruk manakala istrinya terlihat kumal, berwajah kotor, dan mengenakan pakaian lusuh dalam sebuah acara walimah? Bukankah merawat kecantikan wajah sama dengan merawat kesehatan kulit, yang berarti salah satu cara kita bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan Allah Swt.?
Kecaman terhadap tabarruj memang nyata, bukan imajinasi atau ilusi. Tercantum dalam ayat ke-33 surat al-Ahzab yang artinya, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu (tabarruj) berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dulu.”
Pada dasarnya, tabarruj merupakan tingkah laku yang memamerkan perhiasan atau pun aurat perempuan kepada yang bukan muhrimnya. Dengan demikian tabarruj memang rawan terjadi saat kegiatan di luar rumah, di kala badai fitnah siap menerkam dari segala penjuru.
Lantas apakah karena tercelanya tabarruj maka perempuan dilarang bersolek dan keluar rumah?
Yusuf Al-Qaradhawi menerangkan dalam bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer 2 bahwa dibolehkannya perempuan keluar rumah apabila mereka mematuhi tata krama dan adab syar’i serta tidak ber-tabarruj seperti yang biasa dilakukan perempuan jahiliyah zaman dulu.
Maka larangan ber-tabarruj (menampakkan perhiasan dan aurat) menunjukkan bahwa hal tersebut dilakukan di luar rumah. Artinya, tidak ada larangan bagi perempuan untuk menampakkan perhiasan dan sebagian aurat di dalam rumahnya sendiri. Dan perempuan diperkenankan keluar rumah asalkan menaati berbagai persyaratan di atas.
Untuk memahami dengan lurus dan menghindari tabarruj, marilah kita merenungkan tiga hal berikut ini.
Pertama, apakah niat yang terpatri di hati ketika berdandan? Sekiranya demi memamerkan perhiasan yang mempertontonkan kecantikan atau mengekspos lekuk tubuh atau aurat, maka inilah bagian dari tabarruj jahiliyah yang dilarang.
Ketika kita ingin orang memuji kemolekan proporsi tubuh kita dengan pakaian yang khusus kita jahit atau beli untuk menonjolkan lekuk tubuh, itu tergolong niat memamerkan dalam tabarruj. Atau jika kita ingin orang memuji gaya makeup yang glowing dengan berdandan tebal menggunakan warna-warna yang mencolok dan membuat pangling, ini pun bagian dari tabarruj.
Sebaliknya, jika kita mengenakan pakaian yang menutup aurat dengan baik (tidak tipis dan tidak ketat) serta berdandan tipis agar wajah tampil segar, juga menjaga adab dengan yang bukan mahram, mudah-mudahan Allah selalu menghindarkan kita dari fitnah dan dosa tabarruj.
Kedua, manakah yang lebih dilebihkan, dandanan di dalam rumah atau di luar rumah?
Sejatinya tempat berdandan dan menampakkan kecantikan seorang muslimah adalah di rumahnya, di hadapan suami tercinta. Maka apabila ketika ke luar rumah ia berdandan sedemikian cantik namun di rumah malah berpakaian lusuh dan berwajah masam, maka kondisi terbalik itu harus segera diperbaiki.
Syaikh Abdul Wahab Abdussalam Thawilah pada buku Adab Berpakaian dan Berhias (Fikih Berhias) menerangkan bahwa bahwa apabila seorang perempuan keluar rumah, ia menjaga diri, terhormat, dan menghindari bersolek serta berdandan berlebihan yang dapat menunjang fitnah. Perhiasan yang ia kenakan hanya untuk suaminya, bukan untuk laki-laki yang bukan mahramnya.
Ketiga, sudahkah adab berbusana muslimah diperhatikan dengan baik? Tentunya berdandan—dalam pengertian berpakaian layak dan bagus dan tampil baik—juga diperbolehkan. Namun tentu akan berujung dosa jika melanggar kaidah agama. Jangan sampai demi tampil modis malah mengorbankan kehormatan diri.
Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah dalam buku Hak & Kewajiban Wanita Muslimah menyebutkan bahwa memang benar ada perempuan yang mengenakan pakaian tapi seperti tanpa busana.
Ada yang mengenakan pakaian juga berkerudung, tapi sedemikian tipis atau sedemikian ketat hingga tidak mampu menutup sempurna lekuk tubuhnya. Apa yang dilakukan tersebut tentulah dapat menimbulkan fitnah. Maka yang terutama adalah memperhatikan adab-adab berbusana yang syar’i selaku muslimah salehah. Ini tidak ditawar lagi, khususnya dalam urusan menutup aurat.
Kiranya tabarruj lebih kepada aspek riya atau aksi pamer yang dominan dalam berdandan. Karena itulah niat memang menjadi penting untuk ditancapkan dengan benar sejak awal. Berdandan bukan menjadi ajang pamer dan tidak perlu dilebih-lebihkan.
Jangan sampai kita jatuh kepada dosa tabarruj karena tidak memahami hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang dalam urusan berdandan. Namun jangan sampai muncul juga fitnah baru akibat perempuan tidak mau berdandan sebab ketakutan akan tabarruj yang tidak dipahaminya dengan benar.
KOMENTAR ANDA