PANDEMI memang membawa banyak hikmah di balik segala duka yang dihadirkannya. Kita kehilangan keluarga dan sahabat akibat Covid-19. Kita terpisah jarak dengan orang-orang yang kita cintai. Kita tergeser dari kondisi berkecukupan secara finansial. Anak-anak juga kehilangan momen berharga belajar dan bermain bersama teman-teman di sekolah.
Namun pandemi juga menghadirkan pelangi.
Kebersamaan 24 jam sehari memperkuat bonding keluarga. Banyak orangtua yang menyadari kekeliruan pengasuhan mereka dan mulai memperbaikinya. Banyak yang biasanya bersikap masa bodoh kini menjadi peduli kesusahan orang lain. Banyak orang bertindak out of the box untuk meraih sukses dengan cara yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Dan banyak orang makin menyadari pentingnya menjaga bumi agar selalu bersih, hijau, asri, agar lestari.
Sebagai seorang muslim, kita hendaknya mampu berbaik sangka kepada Allah Swt. bahkan di saat tersulit hidup kita. Hanya dengan husnudzan semangat kita tetap membara. Karena berbaik sangka terhadap ketentuan Allah (qadarullah) akan melahirkan keimanan yang menenangkan. Dan itulah bekal kita untuk bisa tetap berdiri tegak dan berjalan maju.
Ketika kita tak mampu berbaik sangka kepada Allah, apa yang kita lakukan terasa salah. Apa yang dilakukan orang lain terasa menyakitkan. Apa yang kita alami terasa mendorong kita ke lembah keterpurukan. Kita menolak kenyataan dan mencoba lari dari setiap masalah. Kita bernapas tanpa benar-benar 'hidup'.
Kita adalah manusia, makhluk yang diberi akal budi oleh Allah. Akal budi inilah yang seharusnya bisa menjadikan kita lebih kuat menghadapi setiap persoalan hidup. Akal budi membuat kita mampu beradaptasi, mengevaluasi diri, untuk kemudian menyusun strategi sebagai solusi. Sesulit apa pun keadaan kita, jangan pernah mematikan akal budi. Karena dengan itulah kita bisa bangkit.
Mungkin kita mengalami blank sesaat, mager juga baper. Mood terjun bebas karena kesulitan hidup terasa begitu menghimpit. Sementara kita—terutama yang menjalankan peran sebagai orangtua—dituntut untuk menjadi pribadi yang lebih kuat agar buah hati kita merasa tenang, aman, nyaman, dan sehat tanpa terbebani kesulitan yang melanda orangtuanya. Maka kita mesti kuat. Tidak hanya untuk anak-anak kita tapi juga demi kebaikan diri kita sendiri.
Ketika terjatuh dalam lembah kesulitan, kita tak perlu terpuruk. Lihatlah ke atas, ke arah secercah cahaya. Karena di ujung nestapa pasti ada bahagia. Inna ma'al 'usri yusra, begitu janji Allah kepada umat-Nya dalam surat Al-Insyirah. Sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan. Janji itulah yang menguatkan rasa baik sangka kita kepada Allah. Dalam keadaan tersulit, semoga kita tetap menjadi hamba yang dicintai Allah Swt.
Siapakah hamba-hamba yang dicintai Allah?
Ada 5 kelompok hamba yang masuk golongan orang-orang yang dicintai Allah Swt. Mereka adalah orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, orang-orang yang berbuat adil (muqsithin), orang-orang yang sabar (shabirin), orang-orang yang bertawakal (mutawakilin), dan orang-orang yang menyucikan diri (mutathahhirin).
Adakah kelima karakter tersebut mewakili diri kita? Mari berintrospeksi.
Sudahkah kita mengamalkan iman, islam, dan ihsan jika kita mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya? Apakah kita sudah berbuat adil dalam kehidupan kita, tidak membeda-bedakan derajat manusia, dan lebih senang menyantuni fakir miskin daripada menyumbang uang untuk menggelar pesta ulang tahun kejutan bagi sahabat di sebuah restoran fine dining?
Sudahkah kita mampu bersabar menyikapi pandemi serta bertawakal setelah berikhtiar sekuat tenaga? Dan apakah kita selalu memperhatikan kebersihan diri juga menyucikan diri dari berbagai hadas dan najis? Karena ketika kita selalu berada dalam keadaan bersih dan suci, kita dapat melaksanakan lebih banyak ibadah sunah yang tidak terikat waktu.
Ketika diri bersih dan suci, kita bisa berdizikir, tilawah dan tadabur quran, salat malam, memperbanyak salat sunnah rawatib, hingga menyimak tausiyah yang disajikan secara virtual. Mengisi diri agar bisa selalu merasakan oasis dalam keseharian kita.
Penghujung 2020 hampir tiba. Jangan biarkan hari-hari pandemi kita hanya menjadi saksi kekesalan kita, kekhawatiran kita, kemarahan kita, dan keputusasaan kita. Jangan sampai kita tidak lulus dari ujian yang sudah kita jalani selama 10 bulan terakhir. Tegaskan kepada nurani, kita harus mampu memetik segala hikmah lalu 'naik kelas'. Semoga kita termasuk dalam kelompok hamba yang dicintai Allah Swt., tak peduli berapa lama lagi kesulitan mewarnai hidup kita.
KOMENTAR ANDA