Suasana komplek pemakaman pasien Covid-19 yang meninggal dunia di Myanmar/ Net
Suasana komplek pemakaman pasien Covid-19 yang meninggal dunia di Myanmar/ Net
KOMENTAR

ORANG-orang Muslim yang meninggal karena Covid-19 di Myanmar, dimakamkan dengan cara khusus sesuai dengan hukum agama Islam. Sukarelawan yang menguburkan mereka menghabiskan waktunya antara rumah sakit - pemakaman di tengah meningkatkan korban Covid-19 di negara meyoritas Budha itu.

Tanpa kehadiran sukarelawan ini, Jenazah korban Covid-19 akan dikremasi, praktik yang biasa dilakukan di negara mayoritas Buddha tetapi dilarang keras menurut hukum Islam.

Berkat mereka, jenazah akan melewati proses pemakaman singkat yang dilakukan oleh seorang imam setempat di pemakaman khusus Muslim.

"Saya mendapatkan kepuasan dari kebahagiaan keluarga mereka. Saya meyakini bahwa Allah melihat apa yang kami lakukan," kata salah seorang sukarelawan bernama Sithu Aung kepada AFP.

Kisah memilukan itu pun mengalir dari mulut ayah muda berusia 23 tahun itu. Dia yang harus terpisah dari keluarganya semenjak wabah Covid melanda Myanmar beberapa bulan lalu. Dia bukan terpisah jarak karena adanya pembatasan, namun Aung harus tersingkir dari lingkungan rumahnya karena stigma bahwa dia pembawa virus corona akibat pekerjaannya.

Aung bersama teman-teman sesama sukarelawan tinggal di pemakaman, terisolasi dari keluarga mereka, saat mereka menghabiskan hari-hari untuk mengumpulkan jenazah dari rumah sakit dan pusat karantina Yangon.

"Kami mempertaruhkan hidup kami untuk melakukan pekerjaan ini,"  ujar Aung pelan. Terbayang bagaimana dia harus menahan kerinduan berkumpul dengan keluarga.

Komunitas Muslim di Kota Yangon berjumlah sekitar 350.000 - hanya tujuh persen dari populasi kota itu. Asosiasi Muslim di Myanmar telah turut andil memberi tiga ambulans, dua mobil, dan persediaan makanan.

Para relawan terpaksa menyewa gubuk di dalam komplek pemakaman. Mereka tidak bisa pulang ke rumah. Stigma yang melekat dalam masyarakat bahwa mereka akan menjadi pembawa virus membuat para sukarelawan di Kota Yangon yang seluruhnya berjumlah 15 orang itu harus berjauhan dengan keluarga.

Berbalut Alat Pelindung Diri, mereka bekerja bergilir sepanjang waktu. Melintasi jalan-jalan yang macet disertai lampu darurat dan sirene.

Pada awal pandemi, Myanmar bukanlah negara yang masuk dalam peta 'menglhawatirkan'. Jumlah kasus sangat minim,  mencatat kurang dari 400 kasus di seluruh negeri sampai pertengahan Agustus lalu.

Namun, belakangan angka kasus virus corona di negara itu mulai melonjak di negara dengan salah satu sistem perawatan kesehatan terlemah di dunia.

Yangon, distrik terpadat di Maynmar, menjadi hotspot virus. Sithu Aung dan kawan-kawannya mengangkut jenazah tiga atau empat setiap harinya.

Aung mengaku, keluarganya tidak mengizinkan dia melakukan pekerjaan ini sebelumnya. Sesekali mereka menjenguknya di komplek pemakaman walau dari jarak jauh.

Bagi Aung dan teman-teman sesama sukarelawan, adalah menyedihkan ketika jenazah korban Covid itu dikuburkan tanpa dihadiri keluarga. Emosinya sering meluap-luap. Membuatnya nyaris menangis.

"Saya menyesal karena anggota keluarga tidak bisa melihat wajah orang yang mereka cintai," katanya, sedih. "Beberapa hari kami juga menangis di bawah kacamata kami."

 

 




Pesan Damai dari Perjumpaan Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar

Sebelumnya

Kementerian Agama RI & LPDP Sediakan Beasiswa Non-Degree untuk Santri, Kesempatan Menimba Ilmu di Berbagai Benua

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News