INI bukan BUMN. Bukan pula Perum (Perusahaan Umum). Tentu, pasti, bukan PT atau CV.
Ini adalah: Lembaga.
Namanya: Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Begitulah menurut Peraturan Pemerintah 74/2020. Yang ditandatangani Presiden Jokowi minggu lalu.
Maka LPI, mestinya, tidak tunduk pada UU BUMN, UU PT, atau UU perusahaan apa pun.
Apakah LPI masih tunduk pada UU keuangan negara? Yang berarti wajib diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)?
Rasanya tidak boleh begitu. LPI harus istimewa. Agar beda dengan BUMN. Agar tidak ada keraguan dalam melangkah. BUMN sudah merasakan komplikasi pahit antara UU PT dan UU Keuangan Negara.
Apakah LPI adalah sesuatu yang begitu super? Yang tidak bisa diperiksa siapa pun? Karena harus sukses?
Kelihatannya segala bentuk fleksibilitas akan diberikan kepada LPI. Segala bentuk yang bisa merintanginya harus dijauhkan.
Apakah DPR boleh memanggil LPI untuk hearing? Maafkan, kalimat itu saya cabut. Saya ganti ini: apakah DPR boleh tidak usah melakukan hearing dengan LPI? Ups, sebaiknya kalimat terakhir itu juga saya cabut saja.
Yang jelas di LPI tidak perlu terjadi rebutan komisaris. Menurut PP 74/2020, tidak ada jabatan bernama komisaris di situ. Yang ada: Dewan Pengawas –mirip dewan komisaris. Tapi ketua dan wakil ketuanya sudah ditentukan dalam PP: Menteri Keuangan dan Menteri BUMN secara ex-officio. Tinggal tiga anggota yang masih harus diangkat -oleh ketua dan wakil ketua itu. Dan mereka harus dari kalangan profesional.
Pokoknya, semangat pembentukan LPI adalah semangat kemajuan. Semangat terobosan. Semangat membuat sejarah baru. Semangat mengadakan yang belum ada bisa menjadi ada.
Dengan cara –yang diharapkan– kita nilai sebagai sangat cerdik dan cerdas.
Itulah salah satu jalan pintas menuju maju. Yakni, bagaimana bisa membangun di saat tidak memiliki uang. Ibaratnya bagaimana orang miskin bisa menjadi kaya secara cepat.
Anda sudah tahu: untuk menjadi maju kita harus membangun banyak proyek. Terutama proyek yang mendasar: jalan tol, pelabuhan, pipanisasi apa saja (air, gas industri, fibber optic), industri dasar seperti baterai mobil dan power bank raksasa, sampai ke revolusi dapur –dari kompor gas ke kompor listrik.
Uang sedanau Toba pun akan kurang kalau semua pekerjaan itu ditangani. Jangan khawatir tidak bisa menghabiskan uang. Maka secara teoritis negara akan bisa maju dengan lebih cepat.
LPI akan menjadi sumber uang baru. Di samping perbankan dan obligasi lewat pasar modal. Bahkan LPI bisa lebih laku dari pada tawaran kredit bank atau obligasi.
Saya bayangkan pekerjaan LPI adalah menyediakan uang untuk proyek-proyek mendasar. Yang secara komersial harus memiliki potensi margin yang besar. Yang selama ini sulit mendapat dana dari bank. Sulit dalam pengertian kapasitas berutangnya sudah rendah dan nilai jaminannya sudah tidak cukup.
Lantas siapa yang boleh mengajukan proyek untuk dibiayai LPI?
Kalau konsisten dengan maksud dibentuknya LPI maka pemerintahlah yang pertama-tama menyusun daftar keinginan. Pemerintah yang menyusun proyek apa saja yang ingin dibangun.
Tentu proyek tersebut harus yang akan menghasilkan uang. Bukan proyek yang sangat penting tapi tidak menghasilkan uang seperti embung. Atau bendungan.
Bahkan uang yang akan dihasilkan proyek tersebut harus tinggi. Agar bisa mengembalikan uang LPI –berikut bunganya.
Maka, bayangan saya, pemerintah atau LPI akan melelang daftar proyek tersebut. Yang boleh ikut lelang hanya BUMN. Atau juga swasta? Atau temannya teman? Dan anaknya teman?
Atau tidak perlu ditenderkan? Kan tidak harus tunduk pada UU Pengadaan Barang dan Jasa? Cukup ditunjuk saja? Agar konsisten dengan keinginan semuanya bisa lebih cepat?
Kalau gambarannya seperti itu maka pekerjaan LPI tidak terlalu berat. Proyeknya sudah ada. Tinggal menilai potensi risiko. Berikut mitigasinya.
KOMENTAR ANDA