Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

ZONA merah di mana-mana. Zona 'perang' yang menyiratkan Covid-19 merajelala. Di media, semakin banyak tokoh publik yang diberitakan terinfeksi Covid-19. Banyak dari mereka yang tergolong OTG. Mayoritas mereka bahkan dikenal konsisten menjalankan gaya hidup sehat dan menaati protokol kesehatan pandemi.

Seorang sahabat mengabarkan ia positif terinfeksi Covid-19. "Bingung ya...padahal saya sangat menjaga protokol 3M. Memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, itu semua saya lakukan. Mungkin protokol doa yang belum maksimal saya jalankan..." ungkapnya.

Protokol doa? Memang betul, ada banyak hal di dunia ini yang berada di luar kuasa manusia. Salah satunya adalah tentang terkena penyakit.

Saat ini kita melihat banyak orang yang menjaga kesehatan dengan optimal namun tetap terinfeksi Covid-19. Sementara tak sedikit orang di luar sana yang tidak mengindahkan protokol kesehatan tapi justru anteng-anteng saja tak tersentuh corona. Namun bukan lantas kita berdalih pasrah kepada Allah lalu menganggap remeh protokol kesehatan yang diatur untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak.

Yang wajib kita lakukan adalah bertindak bijak untuk 'melapisi' perlindungan kita dengan memohon perkenan dari Sang Maha Menguasai. Karena kita tidak bisa menjamin diri kita terbebas dari serangan virus.

Kita juga tidak bisa memastikan imunitas tubuh kita lebih kuat untuk dari virus yang menghampiri.
Protokol doa itu tentu harus ditopang dengan protokol kesehatan dan usaha berlapis lainnya untuk mencegah virus corona menjangkiti kita. Salah satu yang terpenting adalah dengan tetap beraktifitas dari rumah.

Protokol doa menjadikan kita mampu menimbang mana yang tak perlu kita lakukan, mana yang masih bisa kita hindari, dan mana yang memang tidak bisa tidak harus kita jalani.

Dengan memaksimalkan protokol doa, kita menghadiahkan proteksi ganda untuk menangkis Covid-19. Inilah penjabaran sejati dari ikhtiar dan tawakkal yang harus dilakukan seorang muslim. Dengan doa, hati menjadi lebih tenang, dan insya Allah akan berpengaruh positif terhadap imunitas tubuh kita.

Sahabat itu mengakui pada akhirnya ia merasakan hikmah pandemi. Berat badannya turun 20 kg selama sembilan hari dirawat di RS. Hingga kemudian ia menjalani isolasi mandiri di rumah. Seorang diri. Belasan hari ia jalani sendirian. Tanpa keluarga di sampingnya.

"Rasanya seperti mau gila. Tapi karena manusia adalah makhluk Allah yang diberi akal budi, manusia mampu beradaptasi. Barulah saya bisa menikmati setiap hari yang saya jalani. Saya berpikir, sendirian seperti ini di dunia sudah sangat menyiksa. Apalagi nanti di alam kubur ya..." curhatnya lagi.

Lagi-lagi perkataannya membuat hati tersentak. Ah, kesendirian di alam kubur...itu adalah sesuatu yang tidak akan bisa kita hindari. Hakikat manusia pada akhirnya pasti sendiri, seperti ketika dulu ia terlahir ke dunia seorang diri. Setiap manusia akan sendirian setelah meninggalkan dunia yang merupakan persinggahan sementara.

Setiap manusia akan bergantung pada amalnya masing-masing. Perbuatan di dunia akan mendapat balasannya di akhirat kelak. Kita tidak bisa mengharapkan bantuan dari anak, istri, suami, atau orangtua kita. Maka yang bisa kita lakukan hanyalah mengumpulkan sebanyak-banyak amal saleh karena kita tak tahu dari pintu amal manakah Allah Swt. akan memperkenankan kita masuk ke surga-Nya.

Sahabat itu kini lebih tenang. Dia menerima qadarullah. Baginya kini, kesendirian dalam isolasi mandiri adalah kesempatan mengintrospeksi diri. Menggali diri lebih dalam. Bersyukur dan lebih bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk (insya Allah) memperbaiki diri.

Ia menikmati kesendiriannya, menikmati momen video call bersama istri dan anak-anaknya. Lebih banyak mengikuti kajian virtual Aa Gym yang menenangkan jiwanya. Sambil terus berusaha agar ia segera memegang selembar kertas dari laboratorium berisi tanda negatif.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur