Sebaiknya suami istri jangan lekas menyerah, jangan sampai di setiap persoalan langsung mengadu. Adakalanya masalah akan mereda dengan sendirinya bersama perjalanan waktu/ Net
Sebaiknya suami istri jangan lekas menyerah, jangan sampai di setiap persoalan langsung mengadu. Adakalanya masalah akan mereda dengan sendirinya bersama perjalanan waktu/ Net
KOMENTAR

PERMASALAHAN antara suami istri tersebut telah berlarut-larut dan belum juga terlihat titik terangnya. Daripada keadaan makin genting, maka keduanya sepakat meminta bantuan kepada orangtua masing-masing. Ya, sesuailah dengan petunjuk Al-Qur’an!

Apakah masalah selesai? Bukannya beres, persoalan malah melebar, dari semula sengketa antara suami istri meluas jadi ketegangan dua kubu keluarga yang kian memanas. Pihak keluarga suami berkesimpulan menantu perempuan tidak menunaikan peran istri dengan sempurna, akibatnya suami terlantar dan terabaikan.

Pihak keluarga perempuan menyimpulkan menantu laki-laki tidak menunaikan peran sebagai suami dengan baik. Sehingga istrinya menjadi menderita serta tidak terpenuhi hak-haknya. Dua keluarga saling tidak terima dan saling menyerang dengan keras bahkan menjurus kasar.

Dan yang bikin bingung, di saat suami istri itu telah akur lagi, malahan kedua keluarga makin tegang hubungannya. Pihak keluarga suami terus mengintai tindak-tanduk menantu perempuan, jangan sampai dirinya abai dalam tugas sebagai istri. Pihak keluarga istri tak kalah garang, jadi rajin berkunjung untuk memastikan suami tidak semena-mena pada hak-hak istrinya.

Kalau terus diurai, maka persoalan rumah tangga memang sangat banyak. Tetapi tentu ada dong yang menjadi pangkal masalahnya? Itulah yang menarik sekaligus penting untuk ditelusuri.

Pada kasus rumah tangga di atas, dalam tradisi keluarga pihak suami, istri itu mengerjakan semua hal, melayani dengan baik, dan membereskan segalanya termasuk urusan yang berat-berat. Begitulah latar belakang adat budaya dari pihak keluarga suami, yang terbawa-bawa dalam pernikahan. Dan semua istri di kampungnya memang menerima hal demikian dengan lapang dada.

Lain halnya, dalam latar budaya istri malah laki-laki yang bekerja keras. Apalagi jika urusannya sudah yang berat dan sulit, maka suami yang turun tangan dan merupakan pihak yang paling sibuk di rumah. Dua latar budaya yang amat berbeda ini tidak mungkin dapat menyatu dalam tempo secepat kilat. Karena budaya adalah sesuatu yang melekat puluhan tahun.

Nah, dengan terlibatnya kedua belah pihak keluarga, maka masing-masing kubu akan memandang sesuai dengan adat budayanya. Akibatnya masalah amat melebar karena yang harus dipertemukan itu menjadi banyak persepsi manusia.

Lho kok malah jadi makin runyam?

Sebetulnya masalah apapun tidak akan runyam jika pandai dalam mengelolanya. Boleh saja sih melibatkan pihak luar atau pun keluarga untuk menyelesaikan masalah rumah tangga, tetapi jangan lupa untuk mempertimbangkan beberapa hal berikut:

Pertama, persoalan rumah tangga itu bagian dari seni hidup, dan kemampuan menyelesaikannya berdua akan menyederhanakan masalah. Karena, ketika masalah itu dibahas oleh suami istri, maka yang akan dipertemukan adalah dua persepsi saja.

Lain halnya jika telah melibatkan keluarga masing-masing, maka yang dipertemukan persepsi banyak orang, yang tentu semakin rumit mempertautkannya. Apalagi masing-masing keluarga akan lebih berpihak kepada anaknya, dan butuh peruangan bagi mereka untuk jernih melihat masalah secara adil.

Dari itulah, selagi dapat diselesaikan berdua, maka hal itu akan lebih menyederhanakan proses rekonsiliasi.

Kedua, segalanya butuh waktu dan tidak ada masalah yang dapat selesai dalam hitungan detik. Sebaiknya suami istri jangan lekas menyerah, jangan sampai di setiap persoalan langsung mengadu. Adakalanya masalah akan mereda dengan sendirinya bersama perjalanan waktu. Maka bersabarlah! Tuhan memberi kita waktu berlimpah untuk menyelesaikan banyak hal.

Ketiga, memang ada jenis persoalan yang berupa persengketaan berat dan perlu ditengahi oleh pihak lain, utamanya keluarga dari kedua belah pihak. Dan peran inilah yang disebut Al-Qur’an sebagai hakaman, yang hendaknya benar-benar sosok yang mampu bersikap adil dalam melihat persoalan dan tidak akan berat sebelah serta bisa memberikan solusi.

Jadi, kalau yang diminta sebagai hakaman itu orang yang emosional atau malah biang masalah, dapat dipastikan keadaan akan makin runyam.

Maka perlu ketenangan suami istri dalam menentukan siapa yang akan menjadi hakaman. Janganlah asal pilih, jangan asal curhat, atau asal-asalan dalam mencari hakaman.

Ingat, suami istri masih punya ikatan kuat yang akan membantu meredam panasnya hubungan, baik itu cinta yang dulu pernah bersemi atau pun kehadiran anak-anak, tetapi dua kubu keluarga tidak memiliki ikatan spesial macam itu.

Surat An-Nisa ayat 35, yang artinya, “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.”

Syaikh Musthafa al-Farran menerangkan dalam Tafsir Imam Syafi'i, bahwa secara tekstual, maksud ‘khawatir terjadi persengketaan suami istri' adalah masing-masing pihak menuduh pasangannya tidak memberikan haknya dan tidak melayaninya dengan baik.

Kedua juru damai tersebut haruslah bersikap qanaah dan cerdas agar mereka dapat menyelesaikan permasalahan suami istri dan mendamaikan mereka, jika mampu.

Makanya kata hakaman dalam ayat itu diterjemahkan sebagai juru damai. Sekiranya belum yakin mampu memberikan solusi masalah, setidaknya hakaman itu punya kemampuan dalam mendamaikan. Damai dulu yang dicari, barulah solusi masalah akan ditemukan.

 

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur