MUJUR tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Lelaki tangguh itu telah terbujur kaku. Istrinya mengusap perut yang akan terus membesar selama sembilan bulan. Di sampingnya masih ada lagi dua bocah yang imut-imut.
Menjanda di usia masih muda memang tidak pernah terbayangkan olehnya, bahkan dalam mimpi yang paling buruk sekalipun. Apalagi suaminya sehat-sehat saja tanpa keluhan. Bukan pula Covid-19 yang jadi petakanya, tiba-tiba saja suami sesak nafas dan nyawanya tidak tertolong. Indah sekali kematiannya, sakaratul maut yang cepat dan wajah yang dihiasi senyuman ikhlas.
Orang-orang yang melayat bersaksi, “Sungguh dia wafat dalam kondisi amat bersih.”
Perempuan itu telah habis airmatanya, tapi terus menguatkan diri agar tetap waras. Karena dia amat sadar setelah ini kehidupan tidak akan mudah lagi. Segala beban, masalah, harapan, impian dan bocah-bocah yatim ini akan beralih ke pundaknya. Dan modalnya mengharungi hidup yang kian keras ini adalah status selama ini sebagai ibu rumah tangga.
But, the show must go on…
Mari kita mundur dulu belasan abad ke belakang! Berikut ini adalah gambaran gaji dan tunjangan yang menjadi tanggung jawab negara, tepatnya semasa Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah:
Berapakah gaji Umar bin Khattab? Sebagai khalifah (setara presiden) dia menerima 5.000 dirham. Mari bandingkan dengan gaji atau tunjangan pihak lain! Gaji yang diterima para budak antara 1.000 hingga 2.000 dirham. Gaji tentara 4.000 dirham. Umar menggaji golongan Anshar dan Muhajirin 4.000 dirham. Sedangkan gaji putra kandungnya, Abdullah bin Umar lebih kecil, hanya 3.500 dirham.
Veteran Perang Badar mendapat gaji 5.000 dirham, alias sama dengan gaji khalifah. Umar memberi gaji para janda atau istri-istri Rasulullah 12.000 dirham, lebih dua kali lipat gaji khalifah. Selain itu, para penerima gaji atau tunjangan juga memperoleh bantuan gandum, pakaian dan lainnya. (Sumber: Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam buku Biografi Umar bin Al-Khathab)
Bagaimana rasanya punya putri yang menjanda di usia muda, maka Umar bin Khattab yang amat memahaminya. Hafshah nan cerdas lagi jelita menjanda setelah Khunais suaminya mati syahid di Perang Uhud.
Apakah dengan menjanda kehidupan jadi suram? Barangkali banyak orang berpendapat demikian, lain halnya dengan Umar bin Khattab. Sebagai wali apalagi ayah kandung, dia bukan hanya bertanggung jawab atas kehidupan Hafshah, tetapi memberinya masa depan yang lebih baik.
Dengan amat percaya diri, Umar mencarikan jodoh yang lebih baik bagi putrinya; Abu Bakar yang merupakan sahabat utama, sosok bijaksana, saudagar kaya dan berhati mulia, kemudian Usman bin Affan, seorang konglomerat superkaya yang santun dan pemurah.
Sayang keduanya tidak mampu mewujudkan harapan sahabat terbaik mereka, dan Umar bin Khattab pantang menyerah. Kemudian Umar mendapatkan yang lebih baik dari keduanya, sebab Nabi Muhammad yang menikahi Hafshah.
Dari itu, wajar bila gaji Umar bin Khattab sebagai khalifah kalah dengan tunjangan janda. Karena dia merasakan sendiri, menjadi janda tidak pernah mudah. Bagi manusia milenial, mungkin ini terdengar ganjil.
Tetapi kekhalifahan Islam benar-benar hadir untuk rakyatnya, termasuk janda yang dilindungi dan dihormati serta terjaga hak-haknya. Bahkan perlindungan dan penghormatan terhadap janda itu telah bermula dari teladan yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Lantas bagaimana para janda menyikapi kondisi kenyataan zaman kini? Berikut ini juga merupakan bagian dari perlindungan:
Pertama, tanggung jawab wali. Ingatlah, bahwa setiap muslimah yang menikah hendaklah didampingi wali? Bahkan ayah atau wali yang melakukan ijab kabul dengan calon suaminya. Itu merupakan perlindungan dari awal yang disiapkan oleh agama. Kalau-kalau nantinya terjadi hal-hal buruk, maka nasib pengantin wanita jangan sampai terlantar. Ada orangtua atau wali yang tetap bertanggung jawab terhadap dirinya dan juga anak-anaknya.
Maka orangtua atau wali jangan berpikir pernikahan telah membebaskan dari tanggung jawab terhadap anak gadisnya. Persiapkanlah diri, agar di masa-masa yang kelam, wali siap mengambil-alih kembali tanggung jawab tersebut. Orangtua maupun wali tidak boleh meremehkan apalagi mempersulit keadaan janda.
Kedua, menyiapkan dan memanfaatkan dana darurat. Pernikahan itu memang indah, tetapi suami istri perlu menyiapkan dana untuk keadaan yang buruk. Seberat apapun kondisi keuangan, maka dana darurat perlu dipersiapkan.
Memang tidak ada yang berharap mendapatkan malapetaka, tetapi kesiapan sejak awal akan lebih menentramkan hati. Dan arwah suami pun menjadi tenteram di alam sana, karena anak istrinya dapat menyambung hidup, setidaknya sampai menemukan solusi terbaik.
Ketiga, melangkah untuk hidup baru. Janda tidak boleh larut dalam kesedihan, apalagi terpuruk dalam kenangan lama. Sebagaimana Hafshah yang begitu menjanda lalu menikah dengan lelaki yang lebih baik, yakni Rasulullah. Sehingga dirinya pun masuk dalam deretan ummahatul mukminin yang amat dimuliakan.
Menikah lagi merupakan opsi yang baik, akan ada imam dalam rumah tangga, akan ada yang memberi nafkah, akan ada yang melindungi dan lain-lainnya. Menikah lagi juga memenuhi kebutuhan psikologis, sosiologis apalagi finansial bagi anak-anak.
Namun menikah lagi juga keputusan yang tidak mudah, mungkin kenangan itu terlalu manis untuk dilupakan, sehingga tak ada yang mampu menggantikan sosok almarhum. Keputusan untuk tetap menjaga kenangan cinta itu makin mantap karena sang janda punya kemandirian ekonomi.
Nah, dari hal-hal ini pun hidup baru itu dapat dimulai. Apapun pilihannya dan bagaimana pun keadaannya babak baru ini memang harus diperjuangkan.
KOMENTAR ANDA