PASIEN 1:
Begitu jatuh sakit, dia langsung sibuk bergulat dengan ponselnya. Segala jenis medsos miliknya langsung meriah. Orang-orang bersimpati, rangkaian doa mengalir. Dan tanpa diminta, dengan jelas disebutkannya nama rumah sakit, lantai berapa, dan nama ruangan perawatan. Pokoknya siapapun tidak akan kesulitan menjenguknya.
Tanpa sungkan pun dia menghubungi langsung sanak keluarga, rekan-rekan, sejawat dan siapa saja yang dapat dihubungi. Dengan terus terang dirinya minta dikunjungi.
Mengapa?
Pasien ini mengaku, “Dengan kunjungan diriku malah dapat kekuatan untuk sembuh.”
Pasien 2:
Dia masih rekan dari pasien di atas, dan dirawat di rumah sakit atas penyakit lumayan parah, bahkan terlebih dulu masuk instalasi gawat darurat. Dia meminta kondisinya tidak disebarluaskan, bahkan keluarga pun amat terbatas yang mengetahuinya. Itu pun dilarang berkunjung.
Namun kabar sakitnya bocor juga ke sebagian orang, dan mereka meminta informasi nama rumah sakit dan kesempatan menjenguk. Pasien ini menolak kunjungan dan mengucapkan terima kasih. Baginya cukup doa saja!
Mengapa begitu?
Dia berkata, “Saya tidak mau merepotkan. Mereka sudah banyak urusan dan masalahnya.”
Tetapi kan mereka dapat pahala menjenguk orang sakit. Pasien ini berkata, “Saya ingin benar-benar maksimal istirahat di masa perawatan ini.”
Susah menilai benar salah dari dua kisah di atas. Ini perkara selera. Kita pun akan berbeda dalam menilainya. Lantas bagaimana dong?
Kalau mau tahu keutamaan dari menjenguk orang sakit, maka dapat diketahui dari petikan hadis, yang dikutip oleh Abdullah Muhammad Al-Haritsi dalam bukunya Sakit Keindahan Hadir Bersamanya:
Ali bin Abi Thalib berkata, “Saya telah mendengar dari Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidaklah dari seorang muslim pun ketika menjenguk saudara muslim lainnya dengan bersegera/pagi-pagi, kecuali bershalawat kepadanya tiga puluh ribu malaikat sampai sore harinya. Jika dia menjenguk di petang hari, akan bershalawat kepadanya tujuh puluh ribu malaikat sampai pagi harinya. Dan adalah baginya kebun di surga.”
Luar biasa keutamaan yang akan diraih, lantas bagaimana hukumnya menjenguk orang sakit? Nah, di sinilah pembahasan ini menjadi menarik!
Abdul Aziz ibn Fauzan ibn Shalih menerangkan dalam buku Fikih Sosial: Tuntunan dan Etika Hidup Bermasyarakat, bahwa Nawawi berkata, “Menjenguk orang sakit itu hukumnya sunah menurut ijma’, baik yang sakit orang yang sudah dikenal atau tidak, orang dekat atau pun orang asing.”
Demikianlah ijma' para ulama menegaskan bahwa menjenguk orang sakit adalah sunah. Pendapat yang beranggapan bahwa menjenguk orang sakit itu wajib adalah pendapat mazhab azh-Zhahiriah yang juga dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Muflih.
Ibnu Daqaiq al-'Id berkata, “Menjenguk orang sakit menurut mayoritas ulama adalah sunah secara mutlak, terkadang hal tersebut menjadi wajib jika orang sakit itu butuh dikunjungi, dan jika tidak dikunjungi dia akan mati.”
Dengan demikian, kalaupun ada yang berpandangan menjenguk orang sakit itu bukan hanya sunah melainkan wajib, maka itu adalah wajib kifayah. Artinya, jika sudah dilakukan oleh orang lain maka gugurlah hukum wajib itu bagi muslim lainnya.
Sangat banyak faedah dalam menjenguk orang sakit. Jadi, sekiranya kalau kita punya teman seperti pasien pertama di kisah pembuka, maka janganlah berkesal hati. Nanti pahalanya malah rusak. Malahan kehadiran Anda yang menjadi penyembuh bagi penyakitnya. Anda bukan sekadar datang sebagai penjenguk, melainkan penyelamat nyawa manusia.
Lalu bagaimana dengan menjenguk pasien Covid-19? Bukankah risikonya besar, malah dapat berujung kematian? Kalau tidak dijenguk kita juga tidak enak hati. Tetapi jangankan mengunjungi pasien terindikasi Covid-19, memasuki rumah sakit saja kini telah melalui prosedur yang ketat.
Berbagai aturan medis haruslah ditaati, dan jangan berang kalau dilarang menenguk pasien sama sekali. Ini perkaranya nyawa. Adakalanya justru dengan ketidakhadiran kita proses penyembuhannya berlangsung baik.
Ini mirip dengan pasien kedua pada kisah di atas, ada kondisi tertentu pasien memang butuh kesendirian agar fokus meraih kesembuhan. Syukur-syukur dalam kesendiriannya, dia dapat merenung hakikat kehidupan.
Maka untuk pasien yang jenis ini, doa yang kita sampaikan telah mewakili kehadiran fisik untuk menjenguknya. Apalagi kita juga berkirim atau mentransfer sekadar menolong biaya perawatan, nah, ini menjadi lebih bermakna besar.
Lha, bagaimana dengan mengunjungi pasien Covid-19?
Secara medis ini sulit dilakukan mengingat pasien itu tentunya dikarantina. Sebetulnya bukan hanya pasien terpapar Covid-19, perlu pertimbangan ketat sebelum memutuskan menjenguk pasien penyakit berbahaya atau yang menular lainnya.
Ada kaidah dalam Ushul Fikih yang cukup dikenal, sebagaimana disebutkan oleh Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat, bahwa dar`u al-mafasid awla min jalbi al-mashalih: menolak (keburukan) lebih utama daripada mengundang maslahat (kebaikan).
KOMENTAR ANDA