INI kisah pribadi anggota DPR Amerika yang terjebak di ruang sidang –ketika demonstran pendukung Presiden Donald Trump menduduki Gedung Kongres 6 Januari lalu.
Ia masih cukup muda, 41 tahun, tapi pensiunan militer. Kesatuannya: Ranger. Pangkatnya: Kapten. Pengalaman perangnya: Iraq dan Afghanistan.
Sebagian tulisan ini saya kutip langsung dari media Rolling Stone dalam bentuk kisah pribadi –menggunakan istilah ''saya''. Sebagian lagi dari berbagai media di Colorado, dapil yang diwakilinya.
Namanya: Jason Crow.
Anak: 2 orang.
Sebenarnya Jason kelahiran Wisconsin. Lulus BA masih di University of Wisconsin di kota Madison. Tapi ia kuliah hukum di University of Denver, dekat pegunungan Rocky Mountains itu. Di Denver pula ia menjadi jaksa. Yakni setelah pensiun dari kemiliteran. Ia lantas menjadi anggota DPR dari Dapil 6 Denver. Partainya: Demokrat.
Ia anggota DPR yang terakhir meninggalkan ruang sidang. Ia bantu dulu anggota DPR lainnya untuk menyelamatkan diri. Terutama membantu bagaimana mengenakan masker gas. "Bahkan banyak yang tidak tahu bagaimana membuka bungkus peralatan itu," ujarnya.
"Kami terjebak di ruang sidang kira-kira 20 menit. Yakni sejak pendukung Trump menaiki tangga ke ruang sidang di lantai tiga ini. Mereka lalu menuju pintu ruang sidang".
"Waktu itu polisi langsung menutup pintu. Menguncinya. Sambil tetap menyandang senjata. Lalu polisi menumpuk mebel mepet ke pintu sebagai penghalang".
"Saya pun langsung bersikap sebagai ranger. Apalagi ketika saya lihat banyak yang pakai masker darurat pun tidak bisa."
"Beberapa anggota DPR yang berlatar belakang militer juga melakukan hal yang sama. Saya lihat hal itu dilakukan juga oleh seorang pensiunan Marinir."
Maka inilah kisah selanjutnya:
Hari itu saya bangun tidur seperti di hari normal. Saya berolahraga dulu di gym. Di situ sudah ada beberapa orang anggota Kongres. Saya sempat bicara dengan yang dari Partai Republik. Saya tidak perlu sebutkan namanya.
Saya bicara soal kemungkinan perdebatan di sidang nanti. Termasuk apakah akan memicu ketegangan di luar sidang. Jawabnya, tidak akan terjadi. Saya pun mengatakan padanya itu akan terjadi.
Hari itu saya berniat untuk tidak bicara di sidang. Tapi saya tetap hadir untuk melihat jalannya sidang. Saya jalan ke sana-kemari di galeri di atas balkon ruang sidang. Untuk mengamati apa yang terjadi. Akhirnya saya berniat bicara nanti. Di akhir acara. Tapi saya ingin lihat dulu proses awal dimulainya perdebatan itu.
Setengah jam kemudian saya membuka handphone. Saya melihat live streaming apa yang terjadi di luar gedung. Saya lihat demonstran mulai menuju gedung Capitol. Lalu terlihat mulai ada bentrokan.
Saya mulai khawatir. Banyak di antara kami yang juga khawatir. Yakni setelah kami melihat jumlah demonstran begitu banyak. Ribuan (banyak sumber menyebut sampai 25.000 orang –DI).
Saya pikir tidak mungkin petugas keamanan Capitol mampu menghadang mereka.
Baru dua menit memikirkan itu saya lihat massa mulai menjebol pagar pengamanan paling luar. Lalu saya lihat petugas keamanan mengungsikan Ketua DPR Nancy Pelosi. Juga pimpinan DPR lainnya.
Sesaat kemudian muncul laporan bahwa mereka sudah memasuki gedung. Perkembangan begitu cepat.
Kami pun mulai mendengar teriakan-teriakan. Jeritan-jeritan. Berarti mereka sudah di dalam gedung. Sudah sampai di lantai bawah.
Sesaat kemudian terlihat petugas mulai mengungsikan orang-orang yang ada di ruang sidang. Banyak yang bingung apa yang harus dilakukan.
Saya pun menarik kesimpulan. Bahwa keadaan sudah tidak terkontrol. Saya juga melihat seperti tidak ada perencanaan pengamanan yang baik.
Saya harus menggunakan waktu banyak untuk mengajari orang-orang menggunakan masker darurat. Bahkan mengajari bagaimana membuka bungkusnya.
Ketika saya lihat polisi mulai menutup pintu dan menguncinya saya berkesimpulan bahwa kami sedang terjebak. Tidak ada jalan keluar. Massa mengepung ruangan ini.
Ketika saya melihat polisi mengangkat mebel-mebel untuk mengganjal pintu, saya pun berkesimpulan keadaan ini punya potensi berbahaya.
Saya pun menelepon istri. Saya ucapkan padanya saya mencintainya. Saya juga bicara dengan anak-anak. Saya katakan saya mencintai mereka.
Saya jelaskan ke istri bahwa kemungkinan saya harus berkelahi untuk bisa keluar dari ruang sidang ini.
Saya langsung bersikap seperti seorang ranger yang seharusnya. Saya cek semua pintu, apakah terkunci dengan baik. Lalu saya membimbing mereka yang lebih senior untuk menjauh dari pintu. Lalu mencari tempat pertahanan yang terbaik.
Saya juga minta para anggota DPR untuk mencopot pin –tanda sebagai anggota DPR– yang dikenakan di baju. Ini akan membuat mereka lebih sulit mengenali. Saya mengeluarkan pena yang ada di saku, saya genggam, –siapa tahu diperlukan untuk senjata bela diri.
Sesaat kemudian kami mulai mendengar pintu digedor-gedor. Mereka sudah sampai di pintu. Mereka mencoba menjebol pintu-pintu ruang sidang.
Saya pun menyimpulkan tidak ada jalan lain kecuali berjuang untuk bisa keluar. Dan saya merencanakan itu.
Sekitar 15 menit kemudian petugas menginformasikan bahwa pasukan khusus SWAT (satuan yang berhasil menangkap dan menembak Usamah bin Laden –DI) dalam perjalanan ke Capitol.
Pasukan itu berhasil menyingkap demonstran sehingga terbentuk jalan keluar dari ruang sidang. Tapi satuan SWAT tidak bisa memastikan berapa lama bisa mempertahankan singkapan manusia itu.
Satuan itulah yang membuka pintu dan minta seluruh orang yang ada di ruang sidang untuk keluar. Saya keluar yang terakhir. Saya harus memastikan tidak ada lagi yang tertinggal.
Saat keluar inilah saya melihat satuan SWAT memosisikan diri seperti pagar koridor. Sebagian personel satuan itu dalam posisi menindih badan demonstran agar tidak bisa berdiri. Jeritan dan teriakan bersahutan. Kami bergegas melewati koridor SWAT itu. Menuju lorong gedung. Lalu mencapai tempat yang aman.
Suasananya sangat mengerikan. Saya sudah pernah melihat kerusuhan. Saya menyaksikan kerusuhan di Iraq dan Afghanistan. Saat saya dinas di militer. Saya tahu apa saja yang mampu mereka lakukan. Tapi yang di Capitol ini sungguh mengerikan. Inilah untuk pertama kalinya selama 15 tahun terakhir saya merasa takut.
Beberapa kali saya bertanya pada diri sendiri. Apa yang membedakan ini dengan pertempuran. Saya sudah mengalami jenis pertempuran yang berat. Di Iraq dan Afghanistan. Tapi ini sangat berbeda.
Saya berpikir tidak mungkin yang seperti ini terjadi dalam jutaan tahun. Di Amerika. Di gedung Kongres. Di gedung wakil rakyat. Yang sangat agung. Yang sangat sakral.
Saya tidak bisa berhenti berpikir mengapa yang seperti ini bisa terjadi. Di sini. Di Gedung Capitol. Yang adalah tempat suci untuk demokrasi. Seperti rumah ibadah bagi pemeluk agama. Saat saya masih kecil saya sudah melihat foto gedung Capitol. Saya tumbuh besar bersama dengan bayangan gedung itu. Betapa mulia gedung itu.
Kini saya menjadi penghuni gedung itu. Saya masih bisa menggambarkan semua sudut-sudutnya yang magis. Kini saya kembali ke ingatan itu. Dan saya menjadi sangat marah melihat kejadian ini.
Ini bencana kegagalan sebuah pengamanan. Kalau ini dalam sebuah operasi militer tidak perlu lagi ada penyelidikan. Komandannya langsung dipecat di tempat. Ini harus dipertanggungjawabkan. Tidak boleh dibiarkan.
Mengapa saat terjadi demonstrasi Black Live Matter petugas keamanan yang dikerahkan begitu besar. Sampai pun kendaraan bersenjata dikerahkan. Padahal itu urusan yang akan selesai dalam setengah jam.
Sedang peristiwa ini bisa meruntuhkan simbol suci demokrasi. Saya begitu marah. Dan ini harus dipertanggungjawabkan.
Personel yang ada di tingkat atas tim pengamanan ini harus dipecat. Tanpa perlu dilakukan penyelidikan. Sudah begitu jelasnya.
Kami bertekad untuk segera kembali bersidang. Proses demokrasi tidak boleh kalah dari tekanan demonstran. Kami tidak boleh takut menegakkan demokrasi. Massa tidak boleh mengalahkan kehendak rakyat.
Dan mereka terbukti kalah.
.
KOMENTAR ANDA