YOU are what you eat. Frasa itu agaknya tepat untuk menggambarkan betapa makanan memiliki pengaruh dan kontribusi yang kuat dalam diri seseorang.
Hal itu juga lah yang memotivasi seorang pemuna berusia 25 tahun di Bali bernama Benny Santoso untuk menggeluti usaha produksi makanan olahan dari tempe organik.
Meski masih tergolong muda dan termasuk generasi milenial, Benny memili visi yang kuat untuk membantu petani kedelai lokal serta memproduksi produk olahan tempe yang sehat dan tanpa bahan kimia, yakni “Ini Tempe“.
Dalam program Jendela Usaha bertajuk "Usaha Tempe Organik, Kantung Pun Ikut Asik" yang digelar oleh Kantor Berita Politik RMOL pada Rabu (13/1), Benny menuturkan bahwa ketertarikannya dalam usaha tempe organik dimulai daat dia masih duduk di bangku SMA.
"Waktu itu saya ada tuga membuat tempe pada pelajaran biologi saat SMA di Solo, mengenai variasi tempe. Saya pun penasaran dan membuat variasi tempe pedas. Hal itu terus melekat di otak sampai kuliah," jelasnya.
Semasa kuliah, Benny mengaku bahwa ketertarikannya pada tempe terus berlanjut. Dia pun sempat membuat tugas tempe olahan rasa keju dengan project selama sekitar enam bulan.
"Saat itu saya datang ke pabrik tempe, mempelajari pengolahannya hingga jadi hasil akhirnya. Kemudian saya berpikir, sayang sekali kalau ilmu itu tidak saya lanjutkan," paparnya.
Lalu setelah lulus kuliah dan sempat bekerja di sejumlah tempat, Benny lalu mendalami ilmu yang dia geluti semasa di SMA dan kuliah, yakni dalam produksi dan pengolahan tempe.
"Saat tugas kuliah dulu, saya mencoba produksi tempe dari kedelai impor. Kemudian saya cari tahu lebih dalam dan bertemu sejumlah orang, saya penasaran dengan kedelai lokal yang justru lebih sehat. Tapi saya cari di Bali awalnya setengah mati sulit sekali,". cerita Benny.
Setelah terjun semakin dalam ke ranah produksi tempe, Benny menyadari bahwa produksi kedelai lokal dari petani di dalam negeri kurang mendapat dukungan banyak pihak.
"Selain dari sulitnya mencari petani kedelai lokal, mereka juga kalah bersaing dengan kedelai impor yang secara harga lebih murah dan secara jumlah atau stok lebih stabil. Kalau kedelai lokal stok belum tentu stabil, apalagi kalau gagal panen," jelasnya.
Belum lagi soal tengkulak dan wawasan petani yang kurang dari petani terkait bibit kedelai.
"Kedelai itu ada beberapa jenisnya dan setia jenis ada kecenderungan lebih cocok untuk dijadikan produk olahan tertentu. Petani sering kesulitan memahami bahwa bibit kedelai yang mereka tanam akan dibuat menjadi apa," sambung Benny.
Dari situ dia menyadai bahwa hal semacam ini perlu dibenahi.
"Saya semakin sadar bahwa produksi tempe itu dari hulu ke hilirnya repot. Dari mulai bibit, cara petani menjual kedelai, sampai ke tahapan produksi tanpa bahan kimia dan pemasaran," terangnya.
Meski begitu dia teguh dalam prinsipnya untuk mengembangkan produksi olahan tempe yang sehat tanpa bahan kimia, sekaligus mendorong petani lokal untuk menanam kedelai.
"Kalau saya ditanya, kok tidak pakai kedelai impor saja? Pertama karena faktor kesehatan dan kedua kalau bukan kita, siapa lagi yang bisa mengembalikan pertanian lokal?" kata Benny.
Dia pun mengjak generasi milenial untuk tidak menutup. mata dan mau mengenal lebih dekat setiap makanan yang mereka konsumsi.
"Terkadang teman-teman tidak memahami makanan yang dimakan. Maka dari itu, sebaiknya memulai dengan edukasi diri sendiri dulu tentang apa yang dimakan, cari tahu bahannya apa, siapa pembuatnya dan bagaimana cara membuatnya," ujarnya.
"Karena banyak dari kita anak muda sekarang ini tahu banyak hal dari sosial media tapi kadang lupa dengan lingkungannya sediri. Ayo kita bangun curiosity kita terkait apa yang kita makan," tandasnya.
Produk olahan tempe organik yang diproduksinya dapat dengan mudah ditemui di sejumlah e-commerce dan juga Instagram @initempeid dan @initempebali.
KOMENTAR ANDA