Nalar manakah yang dapat mencerna kejadian begini?
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib pernah terkena anak panah di kakinya. Patahan anak panah itu membuat infeksi, bernanah dan bengkak. Sang tabib merekomendasikan agar patahan anak panah itu segera dicabut jika tidak ingin diamputasi.
Sayyidina Ali berpesan, “Jika engkau akan mencabutnya, lakukanlah ketika aku sedang shalat.”
Sang tabib pun melakukannya, dan sukses tanpa sedikit pun Ali bergerak. Seusai shalat, Ali bertanya, “Mengapa kalian tidak mencabut patahan anak panah itu?”
Ia bertanya seperti itu karena tak merasa kalau patahan anak panah itu sudah dicabut. (Nasaruddin Umar dalam buku Shalat Sufistik)
Sungguh nalar manusia itu amatlah terbatas. Dan dalam kehidupan para mukminin akan terjadi banyak keajaiban yang menggugah sanubari. Dari mana mereka itu dapat melakukan hal yang demikian dahsyat?
Halawatul iman, itulah jawabannya.
Apakah dia?
Begini. Rasulullah menerangkannya dalam sebuah hadis. Dari Anas bin Malik, dari Nabi saw. bersabda, “Ada tiga perkara yang apabila dimiliki oleh seseorang, maka dia akan mendapatkan halawatul (manisnya) iman, yaitu barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya; apabila dia mencintai seseorang, dia hanya mencintainya karena Allah; dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana dirinya benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
Ibarat bertanam pohon, maka saat terindah yang dinantikan adalah ketika memetik buahnya nan manis. Maka sebagai mukmin sejati, yang telah bertanam pohon keimanan di dada, merawat, memupuk dan menjaganya dengan sungguh-sungguh, maka wajar pulalah kita mengharapkan buahnya yang ranum.
Hanya saja tidak semua pohon berhasil memberikan buah, dan kalau pun berbuah tidak semua manis rasanya. Tidak setiap manusia berhasil menanam keimanan dengan sempurna, dan tidak semua keimanan itu memberikan buah yang manis. Siapapun yang ingin merasakan buah manis keimanan, maka hendaklah tiga kriteria yang disebutkan hadis tersebut diamalkannya.
Namun kita pun perlu kondisi tertentu agar dapat merasakan manisnya iman. Kenapa demikian?
Bagaimana kalau madu diberikan kepada manusia yang sehat? Ya, dia akan menyukainya, dan menikmati manisnya.
Bagaimana jika madu diminumkan kepada orang yang sakit? Ya, dia tidak dapat merasakan kenikmatannya, bahkan madu itu pun dibilangnya pahit.
Begitulah manisnya iman, hanya akan dirasakan dan dinikmati oleh manusia yang sehat batinnya. Ada pun mereka yang sakit rohaninya tidak akan tahu manisnya, bahkan mengatakan cita rasanya pahit.
Oleh sebab itu, dalam buku Pohon Iman, Ahmad Farid menyebutkan, maka keajaiban sorang hamba adalah menjauhi segala bentuk syubhat dan syahwat yang diharamkan, membersihan hati dan anggota badannya dari segala hal yang dapat melenyapkan iman.
Lebih lanjut, Syaikh Hamid Ahmad Ath-Thahir Al-Basyuni dalam buku Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an menyebutkan, bahwa mereka juga lupa atau berpura-pura lupa sehingga mereka tidak pernah merasakan manisnya iman.
Iman adalah balsem kehidupan. Maka apabila iman bertemu dengan seseorang dan ia bergantung kepada nalurinya dengan kokoh, maka keimanan itu akan memotivasinya melakukan kebaikan dan sebagai kendali dari kehinaan. Ia adalah penguat bagi hati dan motivator bagi keinginan yang kuat.
Ia juga merupakan balsem kesabaran dalam menghadapi musibah, tiang keridaan dan kepuasan, cahaya di dalam hati, ketenangan jiwa, penjernih hati apabila dilanda peristiwa buruk, dan menjadi ikatan yang kuat, dikala sakaratul maut.
Kata orang-orang, di masa pandemi begini obat yang paling laku, adalah obat sakit kepala. Siapa sih yang tidak pusing! Kata orang-orang yang lain, di masa pandemi ini tidak ada yang manis, semuanya terasa pahit.
Kini keadaan memang amat sulit, dan tidak mudah melalui kepahitan yang merasuk ke seluruh sendi kehidupan, apalagi kalau pandemi ini menjadi kepahitan yang teramat panjang, dengan karantina, pembatasan sosial, lockdown dan sebagainya.
Apabila kini kita lockdown atau karantina atau apalah sebutan lainnya, maka Ashabul Kahfi pernah melakukan hal yang serupa. Secara mandiri mereka mengungsikan diri ke sebuah gua terpencil dan tidur di sana selama 300 tahun lebih. Untuk apa? Hakikatnya mereka bukan lari dari raja yang kejam, melainkan demi meraih manisnya iman.
Shalah Al-Khalidy dalam buku Kisah-Kisah Al-Qur`an 2 menerangkan, hal inilah yang terjadi pada Ashabul Kahfi dalam gua itu. Mereka hidup di dalamnya sebagai orang-orang mukmin, mereka merasakan nikmatnya beribadah, bermunajat, dan manisnya iman, serta betapa luasnya gua itu.
Sesungguhnya yang menjadikan gua mereka luas, tenang dan damai adalah rahmat Allah yang mereka minta.
Bersama manisnya iman, kita berharap agar Allah menjadikan hidup kita lapang. Di masa pandemi pula terbuka kesempatan bagi kita mencicipi halawatul iman, bersama Allah kita nikmati manisnya iman, yang mana manisnya akan membuat kita tetap kuat menjalani segalanya.
Bahkan kesulitan pun insyallah akan tampak manis, sebab kesabaran kita melalui pandemi beserta segenap praharanya merupakan pahala yang manis ganjarannya. Amin!
KOMENTAR ANDA