Sejumlah orang membagikan paket bantuan di tengah pandemi Covid-19 di Jepang/AFP
Sejumlah orang membagikan paket bantuan di tengah pandemi Covid-19 di Jepang/AFP
KOMENTAR

PANDEMI Covid-19 mengungkap kemiskinan tersembunyi di Jepang.

Negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu sebenarnya mengalami kasus Covid-19 yang relatif kecil sejauh ini dengan sekitar 4.500 kematian dan sebagian besar tanpa melakukan lockdown yang drastis.

Di tambah lagi dengan tingkat pengangguran di bawah 3 persen dan reputasi jaring pengaman sosial yang kuat, Jepang juga tampaknya berada pada posisi yang tepat untuk mengatasi dampak ekonomi selama pandemi.

Namun di balik itu, sejumlah pihak justru khawatir bahwa pandemi mengungkapkan kemiskinan tersembunyi di Jepang. Pandemi membuat mereka yang paling rentan justru semakin terpukul, dengan statistik menutupi tingginya tingkat pengangguran terselubung dan pekerjaan sementara yang dibayar rendah.

"Pandemi, meningkatnya pengangguran dan penurunan upah telah langsung melanda pekerja miskin, orang-orang yang sebelumnya hampir tidak bisa bertahan," kata Ren Ohnishi, yang mengepalai sebuah kelompok anti-kemiskinan yakni Pusat Dukungan Moyai untuk Hidup Mandiri.

Sementara itu Channel News Asia menuliskan bahwa sekitar 40 persen pekerja di Jepang berada dalam pekerjaan "tidak tetap" yang rentan dengan upah rendah dan kontrak yang dapat diputus dengan mudah serta kesulitan untuk mengakses kesejahteraan.

Data lain yang diungkap oleh AFP mengungkapkan bahwa lebih dari 10 juta orang di Jepang hidup dengan pendapatan kurang dari 19 ribu dolar AS pertahun. Selain itu, satu dari enam orang di Jepang hidup dalam kondisi "kemiskinan relatif" dengan pendapatan kurang dari setengah median nasional.

Sementara itu sejumlah ekonom mengatakan bahwa setengah juta orang Jepang kehilangan pekerjaan mereka dalam enam bulan terakhir, dan juru kampanye mengatakan efek riak menyebar ke seluruh populasi.

"Saya tahu pasti kelas menengah sedang runtuh," kata Kenji Seino, yang mengepalai kelompok bantuan nirlaba Tenohasi.

“Orang-orang yang sudah bergulat (dengan kemiskinan) dihadapkan dengan virus corona. Mereka di atas tali dan tali putus begitu saja,” tambahnya.

Sejumlah ahli memperingatkan bahwa penderitaan ekonomi mungkin berkontribusi pada peningkatan angka bunuh diri yang terlihat menjelang akhir tahun lalu.

Menurut Taro Saito dari NLI Research Institute, kenaikan satu persen poin dalam tingkat pengangguran Jepang, berarti sekitar 3.000 kasus bunuh diri tambahan dalam satu tahun.

Di antara mereka yang terdampak paling parah adalah wanita yang khususnya menghadapi kesulitan ekonomi karena banyak yang bekerja dengan kontrak sementara di ritel, restoran dan hotel. Sedangkan semua industri itu terpukul parah oleh pandemi.

Banyak ahli juga khawatir bahwa wanita sering ragu untuk mencari bantuan atau bergabung dengan pria dalam antriann untuk mendapatkan bantuan makanan.

Sementara statistik menunjukkan peningkatan aplikasi untuk bantuan publik, Ohnishi dari Pusat Dukungan Moyai mengatakan rasa malu dan stigma sebagai penerima kesejahteraan membuat banyak orang enggan mencari bantuan.

“Sistemnya sendiri memiliki aturan bahwa bantuan dari anggota keluarga harus menjadi prioritas. Jadi keluarga menerima pemberitahuan yang mengatakan hal-hal seperti 'anak Anda mengajukan permohonan kesejahteraan',” katanya.

"Ini adalah sistem yang sangat (khas) Jepang. Setiap orang memiliki hak hukum untuk menggunakannya. Tetapi masyarakat tidak serta merta mentolerirnya," tambahnya.




Dukung Riset dan Publikasi Ilmiah, Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta Luncurkan Jurnal Yustisia Hukum dan HAM “JURNALIS KUMHAM”

Sebelumnya

Momen Unik yang Viral, Kebersamaan Presiden Prabowo dan Kucing Bobby Kertanegara di Istana

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News