SUDAH tiga kepala negara Islam atau yang penduduknya mayoritas muslim menerima suntikan vaksin mencegah Covid-19; Presiden Jokowi di Indonesia, Presiden Erdogan di Turki dan Raja Salman di Arab Saudi.
Mestinya perdebatan halal haram dan sebagainya tentang vaksin itu telah usai, dan umat manusia, khususnya dunia muslim dapat fokus bangkit dari keterpurukan. Tanpa perlu data ilmiah, siapapun kini dapat mengungkapkan betapa pahitnya pandemi ini.
Namun kita juga berada di tengah kepungan hoaks, di mana kebohongan berkelindan dalam nafas kehidupan, yang tanpa sadar kita hirup dan merasuk hingga ke sukma. Berbagai hoaks juga menyertai kehadiran vaksin yang sesungguhnya amat dinantikan ini; kabar-kabar hoaks itu malah membuat orang-orang menjadi takut, atau sebagian pihak yang mulai menolak hingga memboikotnya.
Apa jadinya kalau orang-orang kompak menolak vaksin ini? Efeknya bukan saja pandemi yang tidak akan berakhir atau malah tambah ganas, bukan sekadar Covid-19 yang kian merajalela, tetapi kita bersama akan berhadapan dengan kebangkrutan ekonomi. Jelas, ini bukanlah masalah enteng!
Mari kita berandai-andai! Sekiranya saat ini meletus perang yang merenggut nyawa 26.857 orang di Indonesia, apakah kita siap tampil menjadi pahlawan demi menyelamatkan lebih banyak nyawa lagi?
Tentunya siap!
Bangsa Indonesia ini lahir dan kuat berkat pengorbanan para pahlawannya. Di setiap sukma kita berkobar semangat kepahlawanan itu. Termasuk sidang pembaca yang tengah menikmati tulisan ini.
Nah, faktanya angka 26.857 itu adalah jumlah yang meninggal dunia akibat terpapar Covid-19 di Indonesia. Dan angka itu akan terus bertambah setiap harinya, banyak sekali jumlahnya.
Terlalu besar malah!
Kita tidak dapat menebak siapa saja orang-orang tercinta kita yang akan direnggut nyawanya oleh virus mematikan ini, atau mungkin suatu saat malah diri kita yang akan diterkamnya.
Dan kini satu-satunya peluang kita memenangkan perang tidak kasat mata ini adalah dengan vaksinasi. Berbagai lembaga terpercaya dan kompeten telah mengeluarkan rekomendasi terkait vaksin, mulai dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hingga Majlis Ulama Indonesia (MUI).
BPOM sudah menerbitkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) bagi vaksin Covid-19 buatan Sinovac, dengan berdasarkan berbagai pertimbangan, terutama hasil dari uji klinis.
Kepala Badan POM menyebutkan bahwa berdasarkan hasil evaluasi data keamanan vaksin Coronavac diperoleh dari studi klinik fase 3 di Indonesia, Turki dan Brazil yang dipantau sampai periode 3 bulan setelah penyuntikan dosis yang ke 2, secara keseluruhan menunjukkan vaksin Coronavac aman. (pom.go.id)
MUI juga mengeluarkan fatwa No. 02 Tahun 2021 bahwa Vaksin Covid-19 dari Sinovac hukumnya suci dan halal. Dengan demikian kaum muslimin Indonesia dapat menggunakannya.
Menariknya, MUI terlebih dahulu melakukan audit terkait produksi vaksin tersebut dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada penggunaan bahan turunan babi dan bahan yang berasal dari bagian tubuh manusia pada seluruh tahapan proses produksi. (mui.or.id)
Apa lagi yang kurang?
Lagi pula vaksin ini gratis pula!
Dengan demikian, kesediaan kita divaksin adalah bagian dari bukti nilai kepahlawanan itu sendiri. Kini, setiap kita adalah pahlawan, caranya dengan vaksinasi, bukan bertempur di medan laga. Kalau ada pertempuran, maka itu adalah perang menaklukkan hoaks yang bertebaran lebih ganas dari virus.
Vaksinasi ini akan membuat kekebalan komunitas yang menghindarkan dari bencana yang lebih besar akibat Covid-19. Apabila virus ini tidak segera dituntaskan, maka kita akan terancam mengalami kebangkrutan ekonomi, yang akan membuat jumlah orang yang mati lebih banyak lagi. Orang-orang akan lebih dulu mati karena lapar daripada diterkam Covid-19.
Kita tidak boleh mundur lagi. Pandemi ini telah menciptakan banyak kebinasaan dan selain vaksinasi, belum ada jalan keluar yang lain. Inilah kesempatan kita bersama menjadi pahlawan Indonesia dengan vaksinasi, demi menyelamatkan bangsa dari kehancuran yang lebih besar.
Ngomong-ngomong soal semangat kepahlawanan, dan sebagai penutup pembahasan ini, ada baiknya dipetik saripati hikmah dari kisah heroik berikut ini.
Kaum musyrikin Quraisy menebar kabar hoaks di Perang Uhud dengan menyebut Nabi Muhammad telah mati. Akibatnya pasukan muslimin mulai mundur bahkan kocar-kacir.
Pada kondisi demikian kacau, tampil para pahlawan sejati yang tidak pernah takut berkorban, di antaranya Anas bin Nadhar, sebagaimana yang dikisahkan oleh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam buku Ar-Rahiq al-Makhtum Sirah Nabawiyah:
Anas bin Nadhar terus maju dan berpapasan dengan Sa’ad bin Muadz, yang bertanya, “Hendak ke manakah engkau?”
Anas menjawab, “Aku mencium bau surga, Sa’ad! Aku mencium baunya dari kaki Bukit Uhud.”
Setelah itu, dia menyerbu musuh sampai gugur. Tidak ada yang bisa mengenali jasadnya setelah perang usai. Namun, akhirnya saudarinya mengenalinya dari jari-jemarinya.
KOMENTAR ANDA