NORMAL apabila setiap orang ingin jadi pemenang, apalagi gen pemenang itu memang ada pada diri setiap insan. Konon kabarnya, kita hadir di dunia ini setelah mengalahkan jutaan pesaing lainnya. Jutaan lho!
Stuart Campbell dalam buku Kehamilan Hari Demi Hari menyebutkan, bahwa sewaktu hubungan seksual terjadi, jutaan sperma dilepaskan. Namun, hanya beberapa ratus yang berhasil menempuh perjalanan menuju tuba falopi, dan hanya satu yang akan membuahi sel telur.
Dan yang satu-satunya itulah yang berhasil menjadi janin, lalu hadir ke dunia ini menjadi kita-kita ini. Betapa ketatnya persaingan di rahim itu, sehingga hanya satu saja yang berhasil menjadi juaranya. Jelas, setiap kita punya gen pemenang!
Namun menjadi pemenang di alam rahim tidak lagi sama dengan pemenang di hamparan bumi ini. Kini persaingan lebih ketat, pertarungan lebih keras, dan rasa sakit akibat kalah itu lebih memerihkan hati, terlebih kalau sebelumnya dibarengi dengan harapan yang berlebihan.
Lantas bagaimana hakikat pemenang itu? Lagi-lagi setiap orang berbeda cara dalam memaknainya:
Anak-anak merasa jadi pemenang, tatkala melihat rapornya tertera ranking pertama. Petinju jadi pemenang jika berhasil merobohkan lawannya, kalau perlu dengan pukulan KO. Politikus disebut pemenang apabila sukses meraih jabatan. Pesepakbola jadi pemenang apabila mampu membobol gawang lawan lebih banyak. Pembalap dinobatkan sebagai pemenang ketika sampai di garis finish lebih dahulu dibanding yang lain.
Benarkah demikian adanya makna pemenang?
Jawabannya: bisa jadi!
Benarkah demikian hakikat pemenang menurut ajaran Islam?
Jawabannya: belum tentu.
Al-Qur’an memperkenalkan istilah faizun untuk menyebut pemenang, dan menariknya bentuk dari kata faizun adalah jamak. Maksudnya, pemenang sejati yang meraih keberuntungan luar biasa itu bukanlah satu orang, melainkan banyak orang. Unik kan? Nah, itulah yang membuah pembahasan ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Surat At-Taubah ayat 20, yang artinya, “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.”
Di sini tertera kriteria pemenang sejati, yaitu iman, hijrah dan jihad. Iman itu berupa keyakinan yang kukuh terhadap Allah. Hijrah itu keputusan memperbaiki kualitas diri dan kehidupan dengan pindah menuju situasi, kondisi atau tempat yang lebih prospektif. Jihad merupakan refleksi kesungguhan dalam bergiat, berusaha dan berkompetisi, tentunya dalam amalan-amalan yang diredai Ilahi.
Surat Al-Mukminun ayat 111, yang artinya, “Sesungguhnya pada hari ini Aku memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.”
Pemenang sejati itu bersenjatakan kesabaran, apapun kondisinya ia tetap tangguh, karena berpegang dengan sabar. Pemenang itu tetap mampu menahan diri, sabar dalam kesulitan maupun kelapangan. Sehingga tidak pernah menyerah, apalagi pulang sebelum bertarung.
Surat An-Nur ayat 52, yang artinya, “Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”
Taat dan takut hanya kepada Allah serta Rasul-Nya. Dengan demikian, seorang pemenang punya rasa percaya diri tinggi dan tidak terpengaruh oleh siapapun jua yang dapat melemahkan mental juangnya.
Terkait dengan ayat ini, Sayyid Quthb dalam kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur`an menerangkan, mereka sangat layak mendapat kemenangan. Dan, di tangan mereka terdapat sebab-sebab yang mengantarkan mereka kepada kemenangan dari kenyataan hidup mereka.
Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya mengharuskan orang berjalan di jalur lurus yang telah digambarkan oleh Allah kepada manusia berdasarkan ilmu dan hikmah. Jalur itu pasti akan mengantarkan kepada keberuntungan di dunia dan akhirat.
Pernahkah kita takjub melihat betapa besarnya ambisi orang menjadi pemenang. Ketika menjadi kontestan pilkada misalnya, politikus itu bukan hanya menjual harta benda tetapi dengan gagah berani berutang besar kanan kiri, bahkan depan belakang. Ketika kebanyakan orang sudah kalah sebelum bertanding, mundur sebelum berperang, politikus model ini sudah yakin menang bahkan sebelum pemilihan berlangsung.
Kalaupun hasilnya adalah kekalahan, politikus macam ini masih saja ngeyel, gugat sana-sini. Maklum kekalahan bukan saja bermakna hilangnya kesempatan berkuasa, tetapi raibnya harta berikut bonus diuber-uber debtcollector dan tercorengnya kehormatan.
Tentunya bukan hanya di ranah politik, hampir di berbagai lini kehidupan manusia bertarung habis-habisan, bertaruh banyak hal, berkorban luar biasa dan sebagiannya sampai gelap mata, hingga tidak jarang menghalalkan segala cara, bahkan halal haram pun dilibas habis.
Pernahkah kita takjub dengan nafsu membara seseorang yang berambisi sebagai pemenang macam itu?
Tanpa persaingan, atau meniadakan kontestasi akan membuat hidup manusia hambar. Dengan adanya kemenangan, gairah hidup menjadi menyala, berkobar-kobar dan peradaban manusia kian maju.
Tetapi, bila tanpa dibekali dengan tujuan yang hakiki, semua kemenangan itu semu belaka, bahkan menyiksa para pemenangnya. Betapa banyak anak-anak yang stres tiap kali dapat medali, karena dituntut jadi pemenang lagi oleh orangtuanya di berbagai perlombaan berikutnya. Betapa banyak penguasa yang lepas kendali karena takut kalah di pemilihan selanjutnya.
Jadi mengapa tiada bahagia dalam kemenangan itu?
Medali, piala, uang, harta, hadiah, jabatan atau apapun yang menjadi sebab akibat dari kemenangan, bukanlah sesuatu yang abadi. Datangnya sekilas saja dan terkadang menjadi beban batin atau malah jadi petaka bagi yang tiada waspada.
KOMENTAR ANDA