Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

SETIAP kali mertua berkabar akan datang, jantung ibu muda itu berdetak lebih cepat bagaikan meriam dalam perang. Karena, biasanya, dia akan dihujani berbagai kritikan; kuali panci yang menghitam, anak-anak telat mandi pagi, sepatu suami yang kotor, dilarang jemuran di depan rumah, kaca-kaca berdebu dan sebagainya.

Suaminya tidak berdaya. Dan sebagai istri dirinya pun tidak mau membuat suami tersudut; bagi lelaki sulit membuat keputusan antara ibu atau istri. Jadi, hingga detik ini pola hubungannya dengan mertua adalah; pura-pura bahagia!

Kondisi terbalik malah dialami oleh teman karibnya yang juga tetangga sebelah rumah. Sebagai ibu muda yang juga berkarir, dirinya amat terbantu dengan hadirnya mertua. Keduanya yang amat diandalkan dalam mengurus anak, menolong dalam kesulitan, memberikan solusi mulai dari masalah rumah tangga hingga pekerjaan.

Bayinya pernah merengek di pagi hari, orang-orang syok melihat si ibu muda terbangun dan menyerahkan anak itu ke pangkuan ibu mertuanya, lalu dia pun tidur lagi. Dia memang kerja shift malam, tapi menyerahkan anak pada mertua adalah pemandangan horor bagi orang-orang yang melihatnya ketika itu.

Saking dekatnya hubungan, orang-orang sempat mengira itu adalah ayah ibu kandung, padahal keduanya adalah mertua. Lalu bagaimanakah pola relasi ideal antara menantu dengan mertua?

Pada bagian inilah orang-orang sering abai; bahwa pernikahan itu bukan hanya ikatan dua insan yang kelak disebut suami istri, melainkan juga hubungan dua keluarga besar, yang di dalamnya termasuk mertua.

Kurangnya persiapan tentang hal ini membuat pernikahan menjadi penuh kejutan. Seolah-olah hubungan mertua dan menantu itu mestilah buruk, dengan berbagai pergesekan. Padahal tidaklah demikian, banyak kok menantu berhati permata dan mertua yang berhati pualam.

Tapi kok, ada masalah, konflik atau ketegangan antara menantu dengan mertua?

Ya, begitulah kalau tiadanya persiapan mengenai aspek ini di saat pranikah. Akibatnya, begitu resmi menjadi suami istri, menantu maupun mertua sama-sama tidak siap atau tidak paham bagaimana menempatkan diri masing-masing. Padahal manusia sama-sama butuh pengetahuan dan juga waktu untuk saling menyesuaikan diri.

Tanpa persiapan, apabila ada menantu yang berkata tidak pernah bermasalah dengan mertua, maka salah satu dari kejadian inilah yang mungkin menimpanya: pertama, dirinya menghibur hatinya (mulut tertawa hati menangis) atau mertuanya sudah meninggal dunia (mana mungkin dong berkonflik dengan orang yang telah tiada).

Serunya, Nabi Muhammad punya pengalaman dua-duanya; maksudnya, baik selaku mertua maupun sebagai yang punya mertua. Dan alangkah melimpahnya hadis-hadis yang terkait dengan peran mertua dan menantu. Dengan demikian, setiap muslim tidak akan kekurangan pedoman dalam menjalin relasi model ini.

Selaku Mertua

Abu Thurab adalah gelar yang disematkan oleh Rasulullah kepada menantunya, Ali bin Abi Thalib. Asal tahu saja, Abu Thurab itu artinya tanah atau debu, dan betapa senangnya Ali digelari demikian. Begini kejadiannya:

Rasulullah saw. datang ke rumah Fatimah dan beliau tidak mendapatkan Ali di rumahnya. Beliau bersabda, “Di mana anak pamanmu (suami-red)?”

Fatimah menjawab, “Antara diriku dan dirinya ada sesuatu, dia marah kepadaku, lalu keluar, sehingga tidak tidur siang di sisiku.”

Lalu Nabi Muhammad berkata kepada seseorang, “Carilah, di manakah dia berada?”
Kemudian orang itu datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, Ali di masjid, sedang tidur berbaring.”

Lalu Rasulullah datang dan Ali sedang tidur miring di mana selendangnya telah jatuh dari separuh tubuhnya, dan dia terkena debu. Rasulullah mulai mengusapnya seraya berkata, “Bangunlah, wahai Abu Thurab! Bangunlah wahai Abu Thurab!” (HR. Bukhari)

Di sini beliau mendinginkan suasana, bukannya memanas-manasi, sebagai penengah bukannya memihak. Sebetulnya dengan sikap santai itu, Rasul telah meredam gejolak emosi suami istri. Nanti toh juga reda sendiri.

Tidak semua aspek masalah anak dengan menantu beliau campuri, karena Rasul menyadari ada persoalan yang justru akan menjadi pupuk cinta bagi suami istri. Dengan bersikap santai beliau telah memberikan solusi, sehingga Ali bin Abi Thalib pun mereda sendiri kemarahannya terhadap istri. Toh mertua tidak mengungkit-ungkit masalah itu, maka Ali pun memandang persoalan itu biasa saja.

Namun, pernahkah Rasulullah ikut campur dalam masalah keluarga menantunya? Tentu saja pernah, bahkan dapat juga disebut sering. Akan tetapi, ikut campurnya beliau sebagai mertua adalah untuk membantu, menolong atau meringankan, bukannya menambah beban, memperkeruh persoalan apalagi memanas-manasi suasana.

Nabi Muhammad juga hadir di saat-saat keluarga menantunya kritis. Beliau pernah mendapati Ali bin Abi Thalib dan Fatimah sibuk bekerja keras di dapur. Rasul tidak mengkritik dan tidak pula berkomentar, beliau menyingsingkan lengan baju dan turut bekerja sama.

Sebagai yang punya mertua
    
Rasul pernah punya mertua yang bijaksana, namanya Abu Bakar. Dia adalah soulmate sejati, yang rela berkorban apa saja demi Islam. Dengan kebijaksanaannya, Abu Bakar adalah teman bermusyawarah Rasulullah, mulai dari perkara sehari-hari hingga urusan menata negara Islam.

Nabi Muhammad juga pernah punya mertua berwatak keras, temperamental dan galak. Namanya Umar bin Khattab. Bukannya berkonflik dengan mertua tersebut, Umar bin Khattab malah menjadi teman sejati Rasulullah. Dia adalah singa yang terdepan membela agama dan Rasul, baik itu di medan tempur maupun di kehidupan sehari-hari.

Beliau pandai melihat potensi dan menyalurkannya, sehingga tidak berkonflik dengan mertua. Atas kegarangan Umar, Nabi memujinya, bahwa ketika Umar tidur pun setan takut mendekati.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur