BUKAN perkara mudah untuk berbesar hati atas segala peristiwa yang terjadi dalam hidup ini. Sebagai manusia, kita kerap kali terlanjur sakit hati, marah, atau kecewa setengah mati manakala cobaan datang menghampiri.
Hikmah adalah makna mendalam yang menjadi intisari sebuah peristiwa. Saking mendalamnya, kita tak akan bisa menemukannya di permukaan. Karena itu kita lebih cepat merasa kejadian buruk yang datang adalah kesialan. Kita tidak menyadari, sejatinya tidak ada satu pun kejadian yang tidak mengandung hikmah.
Perang Uhud yang terjadi pada bulan Syawal 3H menjadi sebuah kisah memilukan. Ratusan sahabat Rasulullah gugur, termasuk paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib. Padahal kemenangan kaum muslimin sudah tampak di depan mata meskipun secara jumlah kalah dari pasukan kafir Quraisy (700 kaum muslimin vs 3000 kaum kafir Quraisy).
Rasulullah memerintahkan pasukan pemanah berdiam di atas bukit Uhud untuk menyerang pasukan berkuda musuh. Mereka dilarang meninggalkan pos tersebut, tak peduli apa pun yang terjadi. Sementara pasukan muslim lainnya disiapkan berjaga-jaga di celah perbukitan.
Anak panah-anak panah yang dilesatkan pasukan muslimin dari atas bukit membuat pasukan kafir Quraisy kocar-kacir. Namun perintah Rasul terabaikan karena pasukan pemanah tergiur melihat harta benda pasukan musuh yang berhamburan. Mereka pun turun meninggalkan pos dalam keadaan kosong untuk mengambil benda-benda tersebut.
Tak ayal, kosongnya tempat tersebut langsung diduduki oleh musuh. Khalid bin Walid, sang panglima Quraisy—yang kala itu belum memeluk Islam, memang dikenal sebagai ahli strategi perang. Ia membalikkan keadaan hingga pasukan muslimin terdesak. Maka dendam kafir Quraisy membalas kekalahan perang Badar pun terbayarkan.
Perang Uhud menyisakan kepedihan mendalam. Bukan sekadar tentang banyaknya jumlah kaum muslimin yang gugur syahid di medan perang, melainkan juga tentang bagaimana perintah Rasulullah dikalahkan keinginan untuk menikmati gelimang harta. Kepedihan Uhud menghadirkan hikmah tentang urgensi istiqamah menaati pemimpin, berpegang teguh pada perintah Allah, dan bekerja sama demi tercapainya tujuan bersama.
Demikian pula dengan fenomena yang terhampar di hadapan kita saat ini: si kaya dan si miskin, kesuksesan dan kegagalan, kedamaian dan kegaduhan, juga pandemi Covid-19. Masing-masing menyodorkan hikmah bagi kita. Bagaimana kita menjaga perilaku, berpegang pada kebenaran, dan bekerja cerdas untuk bisa bertahan dalam kerasnya kehidupan.
Tapi tentulah, hikmah tersebut hanya akan muncul kala kita menyelaminya dengan sungguh-sungguh. Tidak gegabah menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang lain agar bisa memahami alasan dan tujuan terjadinya sebuah peristiwa.
Ada sebab dan akibat yang melingkupi suatu kejadian. Kebaikan atau keburukan yang menimpa kita, itu semua adalah refleksi dari perbuatan kita. Hikmah dari satu peristiwa akan menyadarkan kita tentang pentingnya melakukan segala sesuatu sebaik mungkin. Dengan demikian, peristiwa demi peristiwa yang menghiasi hidup kita akan menciptakan perbaikan demi perbaikan.
Jika memang duka masih menggelayut dan kita belum menemukan hikmah, bersabarlah. Jangan lantas berlarut dalam duka atau kekecewaan yang melemahkan mata hati kita.
Karena kita harus yakin, ujung dari semua hikmah bagi seorang muslim adalah meningkatkan ketakwaan kepada Ilahi Rabbi. Tidak lain tidak bukan. Wallahu a’lam bishshawab.
KOMENTAR ANDA