KONDISI psikologis memegang peranan penting untuk fertilitas pasangan suami istri. Banyak pasangan yang tidak sanggup lepas dari stres akibat terjebak dalam emergency fertility hingga semakin sulit hamil.
Emergency fertility adalah kondisi 'darurat' yang menuntut istri untuk segera hamil. Suami istri ribut setiap malam karena tidak tahan menghadapi omongan orangtua, mertua, keluarga, dan lingkungan yang bolak-balik menanyakan "kapan hamil?"
Emergency fertility yang dimaksud bukanlah kondisi darurat secara fisik seperti perdarahan atau meninggal saat melahirkan melainkan kondisi darurat psikologis.
Namun kondisi psikologis ini tak kalah berbahayanya dari kondisi fisik. Mayoritas perempuan merasa depresi bahkan ada yang ingin bunuh diri karena tidak sanggup menghadapi tuntutan lingkungan.
Sebelum stres menggerogoti, prioritaskanlah waktu untuk berkonsultasi dengan dokter. Calon ibu boleh saja mengaku relaks dan tidak stres. Namun saat berhadapan dengan dokter konsultan fertilitas, banyak dari mereka menangis karena sangat menginginkan kehamilan.
"Saya selalu menekankan kepada pasien untuk berjiwa positif. Jangan stres. Anda ingin hamil? Hilangkan keinginan hamil itu! Tugas Anda hanyalah harus sehat fisik dan sehat psikis," ujar Konsultan Fertility Endokrinologi Reproduksi RS EMC, Tangerang, dr. Marinda Suzanta, SpOG (K), D.MAS, F. ART, CHt, Ci dalam webinar "Hamil Aman dan Sehat di Masa Pandemi" yang digelar Minggu (14/02/2021).
Hal itu ia sampaikan karena stres sangat memengaruhi angka keberhasilan kehamilan. Ketika calon ibu relaks, maka rahim dan tuba pun lebih relaks menerima sperma, hingga proses fertilisasi menjadi lebih berkualitas. Ketika pasangan memiliki fisik dan psikis yang sehat, kehamilan lebih mudah terjadi. Dan itu menjadi "bonus", bukan tuntutan.
dr. Marinda menambahkan bahwa peran mindset amat penting untuk meningkatkan fertilitas. Karena itu pasangan juga diberikan hipnoterapi fertilitas agar relaks. Pasangan juga diberi penjelasan mendetail tentang proses kehamilan. Dengan demikian, mereka diharapkan bisa memahami pentingnya memiliki kondisi fisik dan psikologi yang sehat.
Ada 4 faktor yang harus dipastikan kesehatannya untuk memulai program kehamilan:
1) Sperma yang sehat. Sperma adalah pemeran utama, karena itu harus diperiksa pertama. Jangan sampai menangis dan mengeluh tentang gangguan fertilitas tapi tidak pernah memeriksakan kualitas dan kuantitas sperma. Jika suami menolak untuk diperiksa dengan alasan yakin dirinya sehat dan perkasa, siapa yang bisa memastikan?
2) Rahim yang sehat. Rahim adalah tempat masuk sperma dan tempat tidur bayi. Karena itulah calon ibu harus memastikan tempat tidur tersebut nyaman untuk bayi. Pemeriksaan rahim bisa dilakukan dengan histeroskopi (teropong rahim) dalam bentuk video rahim secara langsung.
3) Tuba yang sehat. Tuba adalah saluran telur tempat terjadinya pembuahan. Sperma dan sel telur akan bertemu di tuba.
4) Ovulasi. Dokter akan selalu bertanya waktu menstruasi calon ibu untuk memastikan waktu ovulasi.
Kapan idealnya pasangan memeriksakan diri ke dokter spesialis fertilitas? Secara teori, ketika pasangan sudah menikah selama 12 bulan, tidak memakai alat kontrasepsi apa pun, dan rutin minimal 3 hari sekali berhubungan seks, tapi belum hamil, itu adalah tanda adanya gangguan kesuburan.
"Tapi saya tidak melulu mengacu pada buku. Ada beberapa pasien yang baru 6 atau 7 bulan menikah sudah tidak betah karena belum hamil. Dari 10 pasangan, 8 pasangan bermasalah dengan emergency fertility. Jadi mengapa harus menunggu satu tahun?" kata dr. Marinda.
Kuncinya adalah bersikap relaks. Pasangan seharusnya menikmati hubungan suami istri yang dipenuhi gejolak cinta dan gairah, bukan karena dipaksa menuruti jadwal masa subur istri atau dibebani tuntutan harus hamil. Kesehatan psikis tersebut akan menyempurnakan 4 kesehatan fisik yang tadi sudah disebutkan.
Jika memang harus berkonsultasi untuk memulai program kehamilan, setelah pemeriksaan sperma, bisa dilakukan pemeriksaan tuba. Sebagai tempat pembuahan, tuba falopi harus sehat dan berfungsi baik.
Pemeriksaan tuba diperlukan untuk melihat apakah terjadi penyumbatan atau tuba buntu. Pemeriksaan HSG akan memperlihatkan apakah kedua tuba berfungsi atau dapat mengalirkan cairan yang disemprotkan dokter radiologi. Jika mengalirkan cairan, tuba disebut paten.
"Tapi jangan mudah terkecoh. Harus diperhatikan baik-baik format foto hitam putihnya, apakah air menetes dengan banyak dan kuat, atau hanya sekadar menetes sedikit demi sedikit. Itu berarti tuba tidak paten," kata dr. Marinda.
Jika penyebab tuba tersumbat adalah infeksi, maka dilakukan operasi yang bertujuan menutup tuba. Jika dibiarkan, infeksi pada tuba dapat menjadi toksin yang dapat menyebabkan janin gugur. Toksin juga bisa merusak sel telur. Saat itulah terjadi hidrosalping (penyumbatan/ pembengkakan saluran tuba).
Jika penyebab tersumbatnya tuba bukan karena hidrosalping, operasi dilakukan untuk membuka saluran tuba. Namun jika dipastikan penyebabnya adalah hidrosalping, maka operasi dilakukan untuk menutup tuba. Tindakan tersebut memiliki konsekuensi yaitu kehamilan bayi tabung.
Untuk memastikan penyebab masalah pada tuba, dr. Marinda menganjurkan pasien untuk mencari second opinion bahkan third opinion. Dengan begitu, pasien bisa yakin tindakan apa yang diperlukan untuk memperbaikinya. Jangan sampai salah tindakan.
.
KOMENTAR ANDA