JIKA boleh memilih, tidak seorang pun ingin masuk ke neraka. Sayangnya, keinginan tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan usaha meraih surga.
Ada yang dikalahkan rasa malas hingga tak mampu membuka mata dan menggerakkan tubuhnya untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, baik di pagi hari maupun di sepertiga malam. Bahkan untuk tersenyum dengan tetangga pun malas.
Ada yang dikalahkan pemikiran logis khas manusia, menomorsatukan kerja keras tanpa pernah menyeimbangkannya dengan tawakal, kepasrahan, dan keikhlasan.
Ada yang dikalahkan harta dan tahta hingga tak memilih memburamkan kebenaran yang semestinya tampak jelas di depan mata. Pura-pura tidak tahu aturan atau sibuk mengutak-atik aturan agar ada celah mengambil keuntungan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Ada pula yang dikalahkan emosi. Terlalu cepat kecewa dan marah manakala kenyataan tak seindah rencana. Terlalu cepat menghakimi orang lain yang tidak sependapat. Terlalu dini berburuk sangka.
Kita mungkin pernah menangisi kepergian seseorang yang teramat dekat. Ada yang sudah kehilangan ayah, ibu, anak, suami, istri, kakak, adik, nenek, kakek, teman semasa kuliah, atau sahabat di masa kecil. Air mata kita mengalir deras, membayangkan bagaimana hampanya hidup kita tanpa orang yang selama ini menemani hari-hari kita. Tak sedikit dari kita yang belum bisa bangkit dari kesedihan selama bertahun-tahun.
Air mata yang tak kalah deras juga kerap mengalir saat kita harus terpisah jarak dan waktu dari yang terkasih. Juga ketika hubungan kasih atau pernikahan kita kandas di tengah jalan, tak bisa menjadi kisah cinta abadi. Bahkan, banyak dari kita yang bisa menangis tersedu-sedu karena terhanyut lagu bersyair sedih maupun drama Korea nan dramatis.
Apakah derai air mata yang kerap membasahi pipi kita tersebut akan membawa pada kebaikan? Atau hanya menggambarkan kepiluan dan kehampaan hati?
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw. bersabda, “Dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang bermalam (bergadang) untuk berjaga-jaga (dari serangan musuh) ketika berperang di jalan Allah.” (H. R. Tirmidzi)
Tak ada satu pun dari kita yang ingin tersentuh api neraka. Dan salah satu jalan menjaga diri dari neraka adalah dengan mata yang menangis karena takut kepada Sang Khalik. Bukan karena ketakutan dan kegeraman yang berlebih terhadap sesama makhluk. Bukan karena kepedihan yang disebabkan ulah sesama manusia.
Apakah air mata kita lebih banyak mengalir karena rasa takut kepada Allah atau karena kekecewaan terhadap manusia?
Jika ternyata kita lebih banyak menangis tersedu disebabkan kesemrawutan dunia dibandingkan ketakutan kita terhadap dosa yang kita perbuat, maka ya...itu artinya kita tak sedikit pun mengambil jarak dari api neraka. Percuma saja menangis. Kesulitan yang kita rasakan tak akan ada maknanya.
Kiranya kita mesti takut setakut-takutnya ketika kita tidak bisa takut kepada Allah. Itu artinya hati kita mengeras karena tidak bisa melembut untuk mendekat pada-Nya. Itu pun pertanda cahaya hidayah meredup dari nurani kita. Pasti ada yang salah dalam pikiran dan perilaku kita.
Maka mumpung ada waktu, kita harus belajar untuk takut. Kita belajar meresapi betapa kecilnya kita sebagai hamba dan mencari jalan untuk bisa bertakwa. Semoga kita mampu menangis, dan air mata kita jatuh dari mata yang tak tersentuh api neraka.
KOMENTAR ANDA