SALAH satu permasalahan dunia digital yang makin marak selama pandemi Covid-19 adalah beredarnya hoaks (berita bohong) seputar informasi kesehatan. Sangat diperlukan kehati-hatian masyarakat dalam mencerna berbagai informasi yang masuk, terutama yang beredar di media sosial.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika yang rilis tahun 2019 menyebutkan bahwa hoaks kesehatan menempati urutan ketiga setelah politik dan pemerintahan. Di masa pandemi, rasanya jumlah hoaks kesehatan terutama yang berkaitan dengan Covid-19 bisa dipastikan meningkat.
Masyarakat juga kerap salah kaprah. Informasi yang tidak menyenangkan seputar Covid-19, baik itu tentang gejala yang makin banyak, angka kasus yang terus meningkat, pembatasan mobilitas warga, maupun seputar pro-kontra vaksin, semua dianggap hoaks. Padahal 'berita buruk' belum tentu berita bohong.
Seberapa bahaya hoaks kesehatan?
"Dampak hoaks kesehatan jelas berbeda dari hoaks politik. Dampaknya bukan pertengkaran, tapi yang dikhawatirkan adalah keselamatan nyawa orang banyak," jelas dr. Mahesa Paranadipa, MMH, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia dalam Bincang Sehat yang digelar RMOL.id, Jumat (26/02/2021).
dr. Mahesa mencontohkan pasien kanker stadium 3 yang seharusnya melaksanakan pengobatan medis intensif, justru termakan hoaks untuk mengonsumsi makanan/ minuman yang belum teruji klinis dan melupakan pengobatan medis. Banyak dokter onkologi yang prihatin karena kondisi pasien mereka yang seharusnya bisa diperbaiki, tapi mereka kembali ke dokter justru saat kondisi mereka sudah sangat memburuk.
Hoaks kesehatan juga sangat berbahaya karena menyangkut kehidupan orang banyak. Dan hoaks kesehatan sangat marak beredar hingga ke grup chat keluarga.
Apa sebenarnya yang membuat hoaks kesehatan ini makin merajalela?
"Karena kurang gencarnya pemerintah mensosialisasikan informasi yang valid. Jika masyarakat terus-menerus terpapar hoaks tanpa mengonsumsi berita lain (untuk menangkis hoaks), mau tidak mau mereka akan termakan hoaks," kata dr. Mahesa.
Ia mengingatkan saat ini media sosial juga menjadi lautan informasi yang banyak mengandung hoaks. Ditambah lagi harga ponsel pintar yang kian murah, membuat semakin banyak anggota masyarakat yang belum teredukasi dengan baik bisa terjebak dalam berbagai hoaks di jagat media sosial.
Beberapa contoh hoaks kesehatan yang makin banyak ditemui saat ini adalah seputar produk kecantikan yang bisa mengubah penampilan dalam waktu instan (hitungan detik), ajakan untuk menjauh dari terapi medis karena dianggap dijadikan ladang bisnis, dan juga hasutan untuk menolak vaksin Covid-19.
Padahal seperti kita ketahui, Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 mewajibkan setiap warga negara untuk menerima vaksin sesuai ketentuan yang berlaku dan memberi sanksi bagi warga negara yang menolaknya.
Menurut dr. Mahesa, sanksi dari Perpres tersebut harus lebih disosialisasikan kepada masyarakat. Jangan sampai menimbulkan kebingungan dan perdebatan baru. Dan terkait sanksi kepada warga yang menolak vaksin, seharusnya ditanyakan lebih dulu alasannya. Diharapkan masih bisa dilakukan pendekatan dan pemberian informasi yang akurat tentang vaksin agar warga tersebut berubah pikiran.
"Justru yang harus dihukum adalah mereka yang menghasut orang lain untuk menolak vaksin dengan hasutan yang mengandung hoaks," tegas dr. Mahesa.
Terkait sanksi bagi penyebar hoaks, hukumannya bisa diberikan berdasarkan UU ITE, KUHP, atau UU lain yang memiliki pasal hukuman bagi penyebar berita bohong atau penyebar onar yang menyebabkan kepanikan masyarakat. Ada denda dan hukuman penjara yang menanti pelaku penyebar hoaks.
Selain menjadi tanggung jawab pemerintah dan media untuk memberi informasi yang benar, ada 3 cara efektif yang bisa digencarkan untuk melawan hoaks:
#1 Masyarakat harus memastikan siapa yang menulis informasi tersebut. Setelah itu, lakukan cek dan ricek konten. Akan lebih sulit jika informasi tersebut sudah 'forwarded many times' atau diedit hingga keterangan sumber aslinya menjadi kabur. Masyarakat bisa mencari informasi tersebut di media yang kredibel atau langsung mengecek ke situs lembaga terkait.
#2 Memanfaatkan para influencer serta meminta para tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk mensosialisasikan informasi yang akurat kepada masyarakat. Informasi dari influencer dan pemuka agama biasanya sangat mudah memengaruhi pendapat masyarakat.
#3 Mengerahkan semua struktur dan jalur birokrasi. Dalam situasi wabah, dituntut tanggung jawab seluruh komponen masyarakat untuk menghadapinya. Harus dipastikan mekanisme komunikasi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, kota, kecamatan, kelurahan, hingga RW dan RT berjalan baik dan tidak ada missinformation. Ketika warga kebingungan, mereka bisa bertanya kepada Ketua RT setempat yang bisa memastikan valid/ tidaknya sebuah informasi.
KOMENTAR ANDA