Ilustrasi/ FARAH
Ilustrasi/ FARAH
KOMENTAR

MEMASUKI satu tahun pandemi, tanpa terasa buah hati kita telah menjalani satu tahun sekolah dari rumah. Masih teringat masa awal school from home, kita semua terkaget-kaget.

Siswa, guru, dan orangtua belum siap dengan virtual class yang dirasa sangat tidak menyenangkan dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka di sekolah.

Tapi apa mau dikata, kasus Covid-19 yang terus bertambah membuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak bisa mengetuk palu untuk membuka sekolah kembali.

Sekali pun keputusan diserahkan pada kesepakatan orangtua dan sekolah, toh pada akhirnya mayoritas lembaga pendidikan memilih untuk tetap menjalankan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Sempat ada secercah harapan untuk membuka sekolah di awal tahun 2021, namun angka kasus positif Covid-19 justru meningkat signifikan. Lagipula, kita membaca di media bahwa pembukaan kembali sekolah di beberapa negara seperti di Korea dan Belanda, ternyata malah menjadi klaster baru Covid-19. Maka PJJ masih menjadi solusi utama pembelajaran.

Rapor satu tahun PJJ, apa yang terjadi dengan anak-anak kita?

Sebuah penelitian kesehatan di Amerika Serikat yang dipublikasikan awal tahun ini menunjukkan semakin banyak anak yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat pandemi berkepanjangan.

Pandemi yang memaksa mereka belajar di depan layar selama berjam-jam setiap hari. Kebanyakan mereka merasa cemas dan depresi. Beberapa bahkan berniat menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri.

Apa yang terjadi di Amerika tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Entah sudah berapa puluh kali anak-anak kitamengeluh jenuh dan kesulitan memahami pelajaran.

Bagaimana pun, kelebihan pembelajaran tatap muka adalah interaksi fisik (kedekatan) yang memudahkan anak memahami penjelasan guru. Atmosfer kegiatan belajar mengajar di kelas memungkinkan eksplorasi yang menambah semangat anak untuk bertanya juga berlomba menjawab pertanyaan.

Di layar Zoom atau Google Meet, semangat itu mungkin ada pada awalnya. Namun perlahan-lahan, terlihat semakin memudar. Itulah mengapa orangtua tak boleh kendur untuk terus mengusahakan kenyamanan anak selama menjalani sekolah dari rumah.

Satu tahun pandemi, mari melihat kembali dampak online learning terhadap kesehatan mental anak-anak kita.

Isolasi sosial

Sebuah studi terhadap 7000 laki-laki dan perempuan menunjukkan interaksi yang dilakukan face to face dapat mengurangi kecemasan dan depresi.

Hilangnya interaksi sosial dengan teman-teman di sekolah yang tidak hanya untuk belajar tapi juga bermain, ngobrol, berolahraga, dan berkesenian bersama, membuat anak-anak mudah merasa kesepian, sulit termotivasi, dan patah semangat. Isolasi sosial juga memicu perilaku negatif.

Meningkatnya kecemasan

Setiap hari, anak menghadapi ketatnya jadwal pengumpulan tugas dengan jumlah yang tidak sedikit. Dalam hal ini, kita melihat bahwa PJJ ternyata dijalankan dengan mengejar target pembelajaran kurikulum tatap muka. Yang jelas-jelas sangat memberatkan anak.

Tak hanya tentang tugas yang menumpuk, aplikasi virtual meeting juga meningkatkan kecemasan bagi banyak anak. Kurangnya rasa percaya diri membuat mereka tidak nyaman ditatap begitu banyak pasang mata. Beberapa anak bahkan bersikeras mematikan layar video dengan dalih sinyal yang kurang baik atau LCD yang rusak.

Kelelahan

Meskipun durasi pembelajaran tidak sepanjang sekolah tatap muka, namun intensitasnya lebih berat karena harus menghadap layar laptop atau ponsel berjam-jam.

Ironisnya, untuk menebus kelelahan belajar, anak-anak kembali menekuni gawai mereka untuk bermain game atau menonton YouTube dengan alasan sebagai hiburan. Tak pelak, anak pun menjadi sangat tergantung pada gawai.

Mulai tumbuh sikap malas, masa bodoh, dan tidak jujur

Perilaku buruk yang mulai tampak pada sebagian besar anak adalah mereka menjadi malas, bersikap masa bodoh, dan tidak jujur dalam mengerjakan tugas sekolah. Saat ini juga muncul kampanye #stopcopypaste yang harus menjadi kewaspadaan orangtua dan guru.

Dengan kondisi pandemi yang masih tidak menentu, anak-anak seolah merasa belajar bukan hal prioritas seperti dahulu. Akibatnya, anak-anak memilih tidak mendorong diri mereka untuk berprestasi.




Nilai Rapor Menurun, Berikut Cara Ayah Bunda Menegur Si Kecil Agar Termotivasi

Sebelumnya

Mengatasi Kekhawatiran Orang Tua Saat Melepas Anak dari SD ke SMP

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Parenting