Net
Net
KOMENTAR

DULU Indonesia dan mungkin dunia pernah bergetar dengan tagline; jagalah hati. Terlebih ada nasyid pendukung yang begitu akrab di telinga berbagai lapisan masyarakat. Jagalah hati memang penting, meski tidak mudah, apalagi menjaga hati istri.

Sejatinya, berabad-abad yang lampau peradaban Islam telah melahirkan berbagai jalan dalam rangka mencapai hati yang bersih. Memang telah lama muncul kesadaran membersihkan sesuatu yang tidak tampak, tetapi bisa jadi kotornya teramat dekil.

Misalnya, ulama eksentrik Al-Muhasibi yang mengenalkan jalan hisab atau menghitung-hitung kesalahan dan tumpukan dosa diri sendiri. Begitulah caranya, dengan mengetahui betapa kotornya diri, maka kita akan memahami betapa pentingnya menjaga kebersihan hati.

Alih-alih mencari-cari kesalahan orang lain, Al-Muhasibi lebih mementingkan introspeksi diri sendiri. Dengan sibuk menghitung kesalahan atau dosa pribadi, akan lebih bermanfaat dalam menjaga kebersihan hati.

Al-Muhasibi itu bukanlah nama melainkan gelar. Kautsar Azhari Noer dalam buku Warisan Agung Tasawuf menerangkan, Abu Abdullah ibn Al-Harits Al-Muhasibi dilahirkan di Basrah. Sufi ini digelari Al-Muhasibi (pemeriksa, pengintrospeksi) karena kebiasaannya memeriksa dan mengawasi dirinya sendiri agar terhindari setiap dosa dan kesalahan sekecil apapun.

Rabiah Al-Adawiyah lebih unik lagi, yang memilih jalan cinta atau mahabbah. Jalan ini memenuhi hati dengan cinta Ilahi. Saking bersihnya hati, jangankan mengotorinya dengan dosa, bahkan tidak ada lagi ruang untuk cinta yang lain.

Imam Kanafi dalam buku Ilmu Tasawuf menyebutkan, bahwa ajaran pokok yang dibawa Rabi'ah ialah tentang mahabbah, atau cinta yang mendalam kepada Tuhan. Cinta suci murni tidak mengharapkan apa-apa. Untuk menyatakan cintanya kepada Tuhan, Rabi'ah mengorbankan seluruh kehidupannya untuk mengabdi kepada-Nya dengan berdoa, berzikir, berpuasa dan meninggalkan segala kenikmatan duniawi.

Al-Ghazali mengenalkan konsep tazkiyatun nafs atau membersihkan hati, begitu pula dengan ulama Said Hawwa. Konsep tazkiyatun nafs  itu lebih terperinci, yang dalam karyanya menerangkan tahapan-tahapan membersihkan hati.

Apabila ditarik lebih ke hulunya lagi, kampanye membersihkan hati memang telah digalakkan semenjak agama Islam lahir, yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Tentunya konsep membersihkan hati ini menimbulkan keheranan juga perlawanan.

Bayangkan, bangsa Arab jahiliyah yang hidupnya jauh dari kebersihan, diajarkan berwudu minimal lima kali sehari, dibimbing bersiwak atau sikat gigi, diajarkan mandi janabat, dan lain-lain. Aktifitas pembersihan fisik lahiriah saja telah membingungkan mereka, apalagi agenda membersihkan hati, sesuatu yang tidak tampak wujudnya.

Dan alangkah beratnya misi perjuangan Rasulullah macam ini, karena yang dihadapinya manusia jahiliyah. Akan tetapi beliau pantang mundur, hingga agenda pembersihan lahir batin ini mantap menjadi nilai hidup umatnya.

Adapun kini kita berada di era milenial, konsep kebersihan hati bukan hanya berlandaskan dalil-dalil naqli yang bersumber dari agama, tetapi juga diperkuat oleh berbagai teori-teori maupun penelitian ilmiah.

Contoh sederhananya, larangan membenci. Kalau dulu larangan itu dilandaskan kepada buruknya efek kebencian dalan pergaulan masyarakat, karena dapat memunculkan permusuhan bahkan pertikaian.

Kini alasannya lebih dahsyat, benci itu malah sangat merugikan diri sendiri. Bahkan berbagai penyakit berbahaya berdatangan yang berpangkal dari kebencian ini, sementara orang yang dibenci malah tenang-tenang saja bah!

Nah, karena didukung berbagai temuan ilmiah, di sinilah orang-orang sadar pentingnya membersihkan hati dari sifat-sifat buruk, yang justru merusak diri sendiri.

Nabi Ibrahim pernah memanjatkan doa agar dirinya dan keturunannya siap dan selamat menghadapi akhirat, yang di antara persiapannya adalah hati yang bersih (qalbun salim).

Hal ini tercantum pada QS. Asy-Syu’ara ayat 88-89, yang artinya, “(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

Pada Tafsir Ibnu Katsir diterangkan, bahwa harta seseorang tidak dapat menjaga dirinya dari azab Allah, sekalipun dia menebusnya dengan emas sepenuh bumi. Tidak pula anak-anak, sekalipun ia menebusnya dengan seluruh penghuni bumi. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, yaitu selamat dari kotoran dan syirik.

Mau tahu cara memperoleh hati bersih?

Ceritanya begini:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau berkata, Rasulullah saw. pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling utama?”

Beliau menjawab, “Setiap orang yang bersih hatinya dan benar ucapannya.”

Para sahabat berkata, “Orang yang benar ucapannya telah kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?”

Rasulullah menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan kedurhakaan di dalamnya serta tidak ada pula dendam dan hasad.” (HR. Ibnu Majah dan Thabarani) 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur