SEBAGAI negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia sudah seharusnya menjadi model ideal bagi negara-negara lain, baik negara muslim maupun negara nonmuslim.
Hal tersebut ditegaskan Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Dr. Sudarnoto Abdul Hakim dalam program RMOL World View bertajuk "Diplomasi Halal Selama Pandemi", Senin (08/03/2021)
Dr. Sudarnoto menambahkan, di samping besarnya demografi Indonesia dalam hal muslim, Indonesia juga negara yang sangat kaya. "Tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak menjadi the main player," ucap Dr. Sudarnoto.
Saat ini adalah waktu yang tepat untuk melesat. Pandemi Covid-19 memang menjadi tantangan namun di sisi lain juga menghadirkan peluang yang sangat besar untuk mencapai dua tujuan mulia: Indonesia sebagai pusat wasathiyah Islam dunia (secara umum) dan menjadi pusat halal dunia (secara khusus).
Hal itu selaras dengan pesan Presiden Joko Widodo yang mendorong lahirnya poros wasathiyah (moderasi) Islam dunia pada pertemuan ulama dan cendekiwan muslim dunia di Istana Bogor, Jawa Barat, pada Mei 2018.
Menurut Presiden, Indonesia harus mampu menjadi pemimpin dalam membangun perdamaian dunia sekaligus menjadi bangsa mau penggerak kemajuan dunia.
Untuk bisa mewujudkan dua cita-cita mulia tersebut, tentu diperlukan kerja keras dan kerja sama antara pemerintah dengan segenap elemen bangsa. Termasuk di dalamnya ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Karena itulah diperlukan diplomasi halal yang dijalankan secara maksimal. Apa sebenarnya tujuan dari diplomasi halal?
Pertama, dalam urusan promosi kehalalan. Promosi produk halal sesuai dengan tujuan dakwah yaitu mengajak kepada yang halal dan menjauhi yang haram. Promosi halal ini harus sesuai dengan petunjuk Alquran yaitu halal dan thayyib.
Kedua, menargetkan proteksi dan ketersediaan produk halal bagi masyarakat (muslim) di seluruh dunia. Dengan demikian, muslim di negara mana pun bisa mendapatkan produk halal dan terlindungi dari pilihan produk yang tidak halal.
Dalam menjalankan diplomasi halal, diplomasi antarnegara secara global amat penting. Salah satunya adalah untuk menghasilkan devisa negara.
Data Global Economic Islamic 2020 menunjukkan bahwa dua negara terbesar pengeskpor produk halal di dunia adalah Brazil dan Australia yang notabene bukanlah negara muslim. Sementara Indonesia tidak masuk dalam daftar 10 besar negara pengekspor produk halal.
"Tidak hanya dua negara itu, Jepang, beberapa negara Eropa, dan Thailand juga telah mengembangkan produk halal. Mereka memperhatikan kualitas. Kehalalan produk mereka juga bisa dipertanggungjawabkan karena mendapat sertifikasi. Mereka tidak main-main, karena mereka melihat potensi ekonomi yang sangat besar," ungkap Dr. Sudarnoto.
Adapun lima produk halal yang paling diminati masyarakat adalah 1) makanan dan minuman, 2) fesyen, 3) travel atau halal tourism, 4) farmasi (obat-obatan), dan 5) kosmetik.
"Menurut catatan, dari total produk halal di dunia yang nilainya 2,2 triliun USD, Indonesia hanya menyumbang kontribusi sebesar 10%," kata Dr. Sudarnoto.
Kita ketahui bahwa sektor halal di Indonesia memang telah menggeliat selama beberapa tahun terakhir. Namun menurut Dr. Sudarnoto, diperlukan usaha keras untuk mengakselerasi usaha yang dilakukan selama ini. Harus bisa dipercepat. Salah satunya, di masa pandemi ini seharusnya Indonesia juga bisa menjadi pusat sertifikasi vaksin halal.
Untuk mengakselerasi produksi produk halal, kita tidak boleh merasa cukup dengan produk yang bersertifikat halal, tetapi harus diperkuat basis-basis riset, terutama di kampus-kampus, dengan laboratorium yang memadai. Dengan pemberdayaan para periset/ ilmuwan tersebut, insya Allah Indonesia bisa lebih cepat menjadi pusat produk halal.
Ke depannya, Indonesia juga harus bisa menyiapkan diri untuk memaksimalkan potensi wisata halal. Selama ini keindahan alam dan keragaman budaya Indonesia telah menjadi good destination bagi turis domestik maupun mancanegara.
Dan sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, wisata halal menjadi potensi yang luar biasa. Salah satunya adalah menjadikan pesantren sebagai salah satu destinasi halal tourism.
MUI sudah menerbitkan buku tentang halal tourism. Buku tersebut diharapkan dapat menjadi panduan kehalalan, tidak hanya dalam pengembangan produk tapi juga pengembangan sektor jasa terkait pariwisata. Beberapa daerah yang sudah menjadi pusat wisata halal di antaranya adalah Aceh, Sumatra Barat, DKI Jakarta, dan Yogyakarta.
Di balik kerja keras bangsa Indonesia untuk menjalankan diplomasi halal, Dr. Sudarnoto mengingatkan bahwa konsep halal bukan hanya soal produk, melainkan gaya hidup. Selain makanan dan fesyen, juga berkaitan dengan kesehatan dan investasi (ekonomi).
"Sebagai gaya hidup, seorang muslim harus memiliki otak yang halal, hati yang halal, juga ucapan dan perilaku yang halal."
Karena itulah pendidikan tentang konsep halal menjadi sangat penting. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah dengan menggiatkan literasi kehalalan di mana saja baik di rumah, di institusi pendidikan, dan di media.
Jangan sampai persepsi halal-haram hanya soal produk yang kita konsumsi sedangkan pemikiran, bahasa, dan perbuatan kita jauh dari halal alias jauh dari kebaikan dan nilai-nilai Islam. Pun ketika bicara ekonomi syariah, maka halal lifestyle menjadi keharusan. Pada hakikatnya, kita harus menjadi muslim yang halal.
KOMENTAR ANDA