Net
Net
KOMENTAR

MANUSIA sebagai khalifah di muka bumi tidak hanya dianugerahi Allah akal yang melahirkan kecerdasan berpikir tapi juga perasaan yang melahirkan kecerdasan emosional.

Istilah emotional intelligence alias kecerdasan emosional, menurut Dewi Murni dalam Jurnal Ilmu Alquran dan Keislaman Syahadah, dapat diartikan sebagai kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh manusia.

Ketika berpikir adalah sesuatu yang bersifat objektif, emosional menjadi sesuatu yang subjektif. Apa yang kita pikir menarik, terasa biasa-biasa saja bagi orang lain. Atau ketika kita menganggap jahat suatu perbuatan, orang lain mungkin menganggapnya sesuatu hal yang wajar dilakukan.

Kecerdasan emosional akan melahirkan sikap yang 'mumpuni' untuk kuat menghadapi berbagai masalah dan tidak terjerumus dalam kesalahan.

Menurut Dewi, ada 4 sikap yang menjadi implementasi dari kecerdasan emosional yang terangkum dalam Alquran yaitu istiqamah, tawadhu, tawakkal, dan ikhlas.

Istiqamah, inilah sikap teguh pendirian terhadap berbagai hukum dan aturan Islam yang telah menjadi ketetapan Allah Swt. Orang yang istiqamah akan taat pada syariat Islam tanpa menambah atau mengurangi apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Tawadhu, inilah sikap rendah hati yang membuat seorang muslim tidak dihinggapi rasa congkak dalam hubungannya dengan sesama manusia. Sikap rendah hati itu adalah cerminan seorang hamba yang memahami kedudukannya di muka bumi (sama tinggi dengan semua orang di dunia) dan tugasnya untuk beribadah kepada Yang Maha Tinggi.

Tawakal, inilah sikap menghadirkan ketulusan dalam hati untuk mengerjakan segala amal kebaikan untuk menggapai ridha Allah Swt. Tidak mengeluh terhadap kewajibannya sebagai muslim dan berpasrah setelah melakukan berbagai ikhtiar.

Ikhlas, inilah sikap yang hanya dimiliki oleh muslim yang tidak meragukan Allah sedikit pun. Keimanan yang mengakar akan menyucikan hatinya untuk hanya terarah kepada Allah dan tidak disibukkan dengan kepentingan dunia dan penghuni dunia.

Ketika kita mampu memiliki keempat sikap di atas, insya Allah kita adalah orang yang cerdas secara emosional karena kita senantiasa 'dipimpin' oleh rasa takut kita kepada Allah dan keinginan kita untuk menjadi manusia sebaik-baiknya, yang bermanfaat dalam hablumminannas.

Dua sikap tersebut menjadikan kita mampu menguasai dan mengelola kondisi emosional kita dengan baik. Saat diberi nikmat, kita tidak lupa diri. Sedangkan saat diberi cobaan, kita mawas diri.

Saat harapan tak kunjung menjadi kenyataan, usaha dan doa kita tidak berkurang. Atau saat segala sesuatu sudah kita usahakan semaksimal mungkin, kita tak menyakiti diri sendiri manakala usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Kita pun tak pernah memiliki keinginan untuk berbuat curang dan mencari jalan pintas demi meraih keinginan kita.

Ketika istiqamah, tawadhu, tawakal, dan ikhlas sudah kita kuasai, maka kita akan piawai dalam memantau emosi, memahami emosi, bernalar dengan emosi, serta menguasai emosi. Setelah menguasai keempatnya, apa yang terjadi dalam interaksi sosial kita?

Setelah kita menjadi orang yang memiliki self-awareness terhadap kondisi emosional diri sendiri, maka kita juga akan mampu memahami emosi orang lain.

Artinya, selain menjadi muslim yang kukuh menjaga iman dan Islam, kita akan memiliki social skill yang baik yang insya Allah akan menempatkan kita pada hablumminannas yang berenergi positif. Dengan kata lain, kecerdasan emosional yang sesuai Alquran akan mampu membimbing diri kita menjadi insan bertakwa.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang akan menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran: 133-134).

 

 

 

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur