AGAK sulit mencari tandingan bagi Ummu Athiyyah, maklum saja, srikandi ini adalah alumni tujuh medan jihad. Makanya, jadi membingungkan jika Islam dituduh mengekang perempuan, toh di medan sekeras peperangan saja muslimah berhak hadir.
Tentunya akan lebih mengherankan lagi pandangan yang mengira muslimah itu sebagaimana yang dicitrakan oleh sinetron; rapuh, tiada berdaya dan doyan meneteskan airmata. Karena Ummu Athiyyah barulah satu contoh dari para muslimah yang demikian perkasa.
Tidak ada manusia normal yang mengharapkan perang, karena setiap kita memang ingin hidup damai. Tetapi, ketika ada invasi atau gangguan dari pihak lain, maka muslimah pun tidak dapat menghindari peperangan demi membela kebenaran itu.
Dan ternyata ada aksi-aksi heroik yang dapat disumbangkan oleh perempuan di medan laga yang keras itu. Perang jelas bukanlah piknik. Oleh sebab itulah, perlu dijernihkan dulu sosok Ummu Athiyyah yang menakjubkan ini.
Nama aslinya adalah Nusaibah binti Al-Harits, seorang perempuan sahabat Rasulullah yang utama. Nusaibah mengandung makna, wanita mulia yang sangat terkenal asal-usulnya.
Dan dirinya lebih dikenal dengan sebutan Ummu Athiyyah. Dia asli Madinah, sehingga tergolong kaum Anshar, yang amat berjasa menolong kaum Muhajirin dari Mekkah. Ummu Athiyyah memuliakan dirinya dengan menjadi golongan pertama yang memeluk agama Islam.
Ath-Thabarani meriwayatkan dari jalur Ismail bin Abdurrahman bin Athiyyah, dari neneknya yaitu Ummu Athiyyah, ia berkata, “Ketika Rasulullah masuk ke Madinah beliau mengumpulkan para wanita dalam satu rumah, kemudian beliau mengutus Umar kepada kami. Umar berkata, ‘Aku adalah utusan Rasulullah untuk kalian. Beliau mengutusku kepada kalian untuk membaiat kalian agar tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun.”(Syaikh Ahmad Jad, buku Fikih Sunnah Wanita)
Janji setia atau baiat itu dipenuhi oleh Ummu Athiyyah dengan berkorban demi membela agama, termasuk ikut serta dalam medan perang. Bukan hanya sekali dua kali, melainkan hingga tujuh peperangan. Dia termasuk golongan perempuan yang bergegas dalam meraup pahala jihad.
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah dalam buku Kebebasan Wanita, dari Hafshah binti Sirin, dari Ummu Athiyyah, dia berkata, “Aku ikut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh kali. Aku selalu ditempatkan di bagian belakang. Akulah yang membuat makanan untuk mereka, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.” (HR. Muslim) Demikianlah, Ummu Athiyyah ikut berperang sebanyak tujuh kali bersama Rasulullah saw. dan enam kali di antaranya ditemani suaminya.
Begitu besar peran Ummu Athiyyah dan muslimah lainnya dalam peperangan. Selain menyiapkan logistik, tetapi juga berjuang menyelamatkan nyawa prajurit yang terluka. Sekalipun berada di barisan belakang, itu bukan berarti tidak ada risiko sama sekali. Karena kapan saja pasukan musuh dapat menyerang Ummu Athiyyah dan barisan muslimah lainnya.
Pengorbanan yang terus dibaktikan oleh Ummu Athiyyah menjadikan dirinya memperoleh tempat terhormat, khususnya di hati Rasulullah. Tak jarang Nabi Muhammad memercayakan kepadanya urusan yang bersifat keluarga atau pribadi.
Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Shidiq Hasan Khan dalam Ensiklopedia Hadis Sahih, Ummu Athiyah bercerita, “Rasulullah menemui kami ketika putrinya meninggal dunia. Beliau berkata, 'Mandikanlah jenazahnya sebanyak tiga sampai lima kali basuhan atau lebih dari itu -bagaimana baiknya menurut kalian- dengan air dan daun bidara. Pada basuhan terakhir, campurlah airnya dengan kapur barus atau bahan yang sejenisnya. Jika kalian sudah memandikannya, maka laporkalah kepadaku.'
Usai memandikannya, kami pun segera melapor kepada beliau. Rasulullah pun memberikan kain sarungnya kepada kami seraya berkata, 'Kenakanlah sarung ini kepada jenazahnya.”
Ummu Athiyyah yang bertugas memandikan jenazah putri Rasulullah, mulai dari Ummu Kultsum hingga Zainab. Dapatlah dibayangkan betapa terhormatnya posisi yang diraih Ummu Athiyyah.
Sebagai perempuan yang sering ikut berperang, bukan berarti dirinya doyan kekerasan. Ummu Athiyyah adalah tipikal intelektual muslimah, yang keilmuannya amat mendalam.
Dia adalah intelektual muslimah yang disegani. Dirinya meriwayatkan 40 hadis dari Rasulullah. Dan ketika Nabi Muhammad telah tiada, kepada dirinya pula kaum muslimin bertanya perihal hukum-hukum agama.
Hafshah berkata, “Kami biasanya melarang anak-anak gadis kami keluar menghadiri kedua shalat hari raya. Ketika itu aku datang kepada Ummu Athiyyah, aku tanyakan kepadanya, ‘Apakah kamu pernah mendengar Nabi Saw. (memperbolehkan anak-anak gadis pergi menghadiri dua hari raya)?'
Ummu Athiyyah menjawab, 'Demi bapakku, benar, aku pernah mendengar hal itu dari Nabi Saw. ketika beliau bersabda, 'Anak-anak gadis, perempuan-perempuan yang dipingit, dan wanita haid boleh keluar serta hendaklah mereka menyaksikan (hari) baik dan khotbah nasihat kaum muslimin. Tetapi wanita haid harus menghindari tempat shalat.”
Hafshah bertanya, “Apakah wanita haid (juga boleh)?” Ummu Athiyyah berkata, “Bukankah (wanita haid) boleh menghadiri Arafah, ini dan itu?” (HR. Bukhari)
Penegasan Ummu Athiyyah ini amatlah berarti, karena perempuan jangan hanya terlibat di masa-masa sulit belaka, tetapi juga merasakan di waktu-waktu bahagia seperti hari raya. Dan hak-hak perempuan macam itulah yang perlu dijaga dan dibela.
Keberpihakan Ummu Athiyyah terhadap hak-hak perempuan tergambar nyata dalam perjuangan hidupnya. Dari itu pula, orang-orang sangat mempertimbangkan setiap perkataan dirinya.
Allah memberinya umur yang panjang, dan tetap hidup hingga khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib. Sang khalifah pernah mampir dan menginap di rumah Ummu Athiyyah di Basrah demi memuliakan kedudukannya.
KOMENTAR ANDA