Ketua Tim Pedoman dan Protokol dari Tim Mitigasi PB IDI Dr. dr. Eka Ginanjar, SpPD-KKV, dalam Bincang Sehat RMOL.id bertajuk Mudik Setelah Vaksinasi, Apakah Bisa?, Jumat (19/03/2021)/ FARAH
Ketua Tim Pedoman dan Protokol dari Tim Mitigasi PB IDI Dr. dr. Eka Ginanjar, SpPD-KKV, dalam Bincang Sehat RMOL.id bertajuk Mudik Setelah Vaksinasi, Apakah Bisa?, Jumat (19/03/2021)/ FARAH
KOMENTAR

BULAN suci Ramadan sudah dekat. Dan jika kita bicara tentang puasa, tak bisa lepas dari lebaran dan mudik. Tahun lalu, pemerintah melarang mudik meskipun masih banyak masyarakat yang bandel memaksakan pulang ke kampung halaman.

Tahun ini, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan tidak ada larangan mudik. Sementara dari pengalaman selama pandemi, mobilitas masyarakat pada hari libur, long weekend, juga Natal Desember lalu menjadi salah satu titik kenaikan kasus Covid-19.

"Mungkin Pak Menteri melihat jumlah kasus saat ini yang menurun jadi mengatakan boleh bersiap mudik. Namun saya rasa masih terlalu dini untuk mengatakan boleh mudik. Lihat dulu situasi dan kondisi penularan Covid-19 day by day mendekati lebaran. Jangan sampai jadi titik lengah," ujar Ketua Tim Pedoman dan Protokol dari Tim Mitigasi PB IDI Dr. dr. Eka Ginanjar, SpPD-KKV, dalam Bincang Sehat RMOL.id bertajuk Mudik Setelah Vaksinasi, Apakah Bisa? pada Jumat (19/03/2021).

dr. Eka menjelaskan bahwa saat ini jumlah kasus Covid-19 memang sedang menurun. Data situs Satgas Covid-19 dan situs Kementerian Kesehatan memperlihatkan penambahan kasus terus turun, mulai dari 6000, 5000, hingga 4000an kasus dalam satu minggu terakhir. Di rumah sakit-rumah sakit, jumlah pasien Covid-19 yang dirawat maupun yang harus masuk IGD juga berkurang.

"Jika bicara kurva, sudah mencapai puncak dan mulai menurun. Mudah-mudahan menurun hingga mencapai angka nol, yang berarti bebas dari penularan. Tapi itu tentu butuh waktu yang panjang. Setidaknya, kita harus sampai pada titik di mana penularan tidak lagi berbahaya," kata dr. Eka.

Mirisnya, masyarakat saat ini tampak mulai lengah mematuhi protokol kesehatan. Banyak orang mulai bebas, tidak mengenakan masker, kumpul-kumpul, mal pun mulai penuh. Seharusnya ada petugas yang memastikan dan mengingatkan tentang disiplin prokes.

"Jika kita lengah, saya takut ada lompatan kasus di hari-hari berikutnya. Takut terjadi second wave (gelombang kedua) seperti di negara-negara Eropa. Saat ini kita baru di tahap first wave dengan kurva yang sedang menurun. Klaster keluarga juga masih ada meski sedikit. Harus dijaga. Belum waktunya untuk melepas semua prokes yang dijalankan," tegas dr. Eka.

Terlebih dengan adanya varian baru yang disinyalir penyebarannya lebih cepat dan tingkat keganasannya lebih tinggi, dr. Eka berharap kurva pandemi Indonesia tidak naik lagi.

Yang perlu diwaspadai, mudik melibatkan kesiapan terminal, stasiun, dan bandara. Dan bagi pemudik yang memanfaatkan bus atau mobil pribadi, kesiapan disiplin prokes di semua rest area juga harus dipastikan. Jika ada pelanggaran, harus ada tindakan tegas dari petugas berwenang.

Setibanya di kampung halaman, keluarga besar pasti berkumpul,bersilaturahim, makan bersama, serta mobilitas tinggi. Sangat besar kemungkinan prokes akan diabaikan.

Pertanyaannya kemudian, jika seseorang sudah divaksin, apakah aman untuk mudik?

Menurut dr. Eka, program vaksinasi di Tanah Air baru dimulai. Cakupan vaksin masih sangat sedikit. Meskipun para tenaga kesehatan sudah divaksin, vaksinasi bagi para lansia dan pelayan publik masih berjalan. Target vaksinasi kita adalah 181,5 juta jiwa.

Artinya, masyarakat Indonesia saat ini belum aman dan masih jauh mencapai herd immunity. Selama imunitas populasi belum tercapai, virus tetap bisa bertransmisi secara bebas.

Orang yang sudah divaksin memang relatif aman. Sudah tercipta antibodi. Kalau pun tertular, tidak akan berat. Masalahnya, apakah ketika mudik semua anggota keluarga sudah divaksin? Kalau pun sudah, divaksin juga bukan berarti bebas ke mana saja. Tetap harus jaga jarak karena masih punya potensi tertular dan menularkan.

Salah satu syarat yang wajib dipenuhi saat mudik adalah testing. Saat ini, GeNose dipersiapkan untuk tersedia di berbagai fasilitas transportasi, seperti terminal, stasiun, dan bandara. Meskipun harganya diberitakan naik menjadi 30 ribu, bisa dipastikan masyarakat akan memilih GeNose karena lebih murah dibandingkan tes swab antigen apalagi swab PCR.

Lantas sejauh mana efektivitas GeNose?

"Sampai saat ini, hanya swab PCR yang bisa melihat ada virus atau tidak dalam tubuh. Meski demikian, tetap saja hasilnya tidak akurat 100%. Sensitivity dan specificity masih bisa salah meskipun kemungkinannya sangat kecil," kata dr. Eka.

Untuk diketahui, istilah sensitivity (true positive rate) atau sensitivitas merujuk pada kemampuan tes untuk menunjukkan individu mana yang menderita sakit dari seluruh populasi yang benar-benar sakit. Sedangkan specificity (true negative rate) atau spesifisitas adalah kemampuan tes untuk menunjukkan individu mana yang tidak menderita sakit dari mereka yang benar-benar tidak sakit.

Setelah swab PCR, posisi selanjutnya adalah swab antigen, dan yang paling 'awam' adalah tes rapid antibody.

Adapun GeNose yang diapresiasi sebagai karya anak bangsa, bisa dipakai sebagai penyaring (screening) tapi bukan sebagai pembeda antara yang terjangkit Covid-19 dengan yang tidak terjangkit.

Ketika hasil tes GeNose seseorang positif, tetap masih harus dikonfirmasi. Demikian pula jika hasil tes negatif namun menunjukkan gejala seperti demam dan kontak erat, orang tersebut tidak bisa langsung dibebaskan.

Dengan harga saat ini berkisar Rp 30 ribu, bisa ditebak masyarakat akan lebih memilih GeNose karena sangat terjangkau."Harus diperhatikan bahwa mudik identik dengan penumpang membludak di stasiun dan bandara. Jangan sampai antrean GeNose menjadi kerumunan. Harus ada petugas yang menjaga ketat."

Beberapa lembaga di Indonesia saat ini sedang melakukan penelitian terkait metode tes Covid-19 menggunakan saliva (air liur). Tentang efektivitasnya, dr. Eka menyebutkan bahwa hasilnya belum dirilis secara luas. Artinya, saat ini tes menggunakan saliva belum bisa dijadikan standar. Sejauh ini real time PCR masih menjadi yang paling akurat untuk tes Covid-19.

"Pada masyarakat, saya sarankan untuk tidak mudik. Tapi jika memang terpaksa sekali harus mudik, jaga prokes. Jaga diri kita, berarti kita menjaga keluarga kita. Dengan menjaga keluarga, berarti kita sama-sama memerangi pandemi dengan menjaga masyarakat dan negara. Jangan egois," pungkas dr. Eka.




Dukung Presiden Prabowo Bawa Ahli Medis India ke Indonesia, Andi Arief: Kasihan Rakyat Kecil Tidak Punya Jalan Keluar untuk Transplantasi Organ

Sebelumnya

Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News