NYINYIR dan julid di era teknologi informasi yang 'mendewakan' media sosial menjelma menjadi sebuah keniscayaan.
Semua orang bisa dengan mudah mengungkapkan perasaan dengan hanya mengetik dan mengklik. Semua orang bisa bersembunyi di balik akun anonim atau akun palsu. Walhasil, kenyinyiran dan kejulidan bertaburan memenuhi halaman comment media sosial.
Tentang hal itu, warganet Indonesia terbukti menjadi "yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara" versi survei Digital Civility Index (DCI) di 32 negara yang digelar Microsoft. Ndilalah, setelah mendapat 'kehormatan' menjadi nomor satu, warganet Indonesia ramai-ramai menyerang Microsoft. Seolah ingin membuktikan kita memang pantas berada di posisi teratas dalam kategori yang memalukan itu.
Jika mau jujur, banyak perempuan yang makin aktif bermedia sosial. Dari usia pre-teen hingga usia paruh baya. Ada yang hanya aktif membuka media sosial untuk mencari tahu kabar teman-temannya dan membuka akun-akun gosip seputar dunia entertainment. Ada pula yang aktif mengetikkan komentar di kolom comment. Rasanya tidak afdal jika sekadar mengklik tanda like tanpa meninggalkan 'jejak' berupa komentar.
Dengan begitu beragamnya konten media sosial, baik itu yang diunggah para tokoh masyarakat, pemuka agama, politikus, hingga selebriti, juga awam yang ingin eksis di jagat medsos, kita seolah tak mampu menahan diri untuk tidak berkomentar. Mirisnya, kebanyakan kita (baca: perempuan) justru mengambil posisi sebagai pengkritik tanpa substansi alias haters.
Memberi masukan atau berdakwah tidak bisa dijalankan dengan cara yang tidak simpatik. Ketika caranya salah, di sana akan ada kebencian, kemarahan, juga kepicikan. Menyampaikan kebenaran dengan cara yang salah tidak akan mampu mencapai tujuan.
Kritik membangun lahir dari kesadaran untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Kita menginginkan orang yang kita kritik dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi bukan berarti kita merasa kita paling benar dan selalu benar.
Terlebih sebagai seorang perempuan, kita harus menyadari bahwa kita tidak punya hak untuk seenaknya menghakimi orang lain, apalagi terhadap sesama perempuan. Kita memahami bahwa perempuan lain juga manusia yang memiliki perasaan, sudut pandang, dan pemikiran atas perbuatan yang mereka lakukan.
Betapa mudahnya kita memberi label buruk pada orang lain yang bahkan kita tidak tahu karakter asli dan keseharian orang tersebut. Kita hanya tahu 'setitik' hidupnya dari jendela medsos tapi seolah kita telah mengenalnya seumur hidup.
Membicarakan aib orang lain memang jauh lebih mudah ketimbang membicarakan aib diri sendiri. Tapi sebagai perempuan yang wajib menjaga kemuliaan diri, kita sepantasnya menjaga lisan dan perbuatan, termasuk kata-kata di media sosial, agar tidak menyakiti perasaan orang (baca: perempuan) lain.
Perempuan sejatinya harus berani bersuara untuk kebaikan dirinya, kebaikan sesama, juga dalam menjawab tantangan dan menghapus diskriminasi. Bersuara untuk menampilkan versi terbaik dari diri perempuan.
Perempuan berdaya sejatinya tidak hanya mengumbar eksistensi dan aktualisasi pribadi, tapi juga memotivasi perempuan lain untuk bisa berdaya.
Memotivasi lewat ucapan dan perbuatan. Memberi sumbangsih nyata bagi kemajuan perempuan. Mengkritik dengan cara elegan agar perubahan ke arah lebih baik bisa terwujud.
Jangan sampai kita nyinyir dan julid terhadap pencapaian dan prestasi seseorang lalu sebaliknya, memaklumi juga mendukung kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan seseorang.
Bijak dan cerdas adalah dua hal yang harus ada pada diri perempuan saat menjelajah dunia sosial. Keduanya akan menjadi tameng yang menghalangi nyinyir dan julid menjadi bagian jati diri perempuan.
KOMENTAR ANDA