Epidemiolog Griffith University, Australia Dicky Budiman dalam Bincang Sehat RMOL.id bertema
Epidemiolog Griffith University, Australia Dicky Budiman dalam Bincang Sehat RMOL.id bertema "Kupas Tuntas Vaksin AstraZaneca" pada Jumat (26/03/2021)/ FARAH
KOMENTAR

DENGAN pandemi Covid-19 yang sudah berjalan lebih dari satu tahun, vaksinasi menjadi satu jalan untuk menciptakan herd immunity untuk menghentikan laju penularan. Namun salah satu hal yang selalu ramai dibicarakan adalah status kehalalan vaksin, yang sayangnya, kerap disebarkan sebagai hoaks oleh segelintir orang tidak bertanggung jawab.

Seperti yang ramai menjadi perbincangan publik saat ini adalah fatwa MUI yang tidak mencantumkan status halal untuk vaksin AstraZaneca. Menurut MUI, adanya enzym tripsin berupa bahan turunan babi di fase awal pengembangan vaksin tersebut menjadi dasar Komisi Fatwa MUI tidak bisa memberi sertifikasi halal namun memperbolehkannya mengingat kondisi darurat pandemi.

"Penilaian saya selama berada di Sekretariat OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), standar cap halal Indonesia paling tinggi dibandingkan negara-negara OKI lain. Kita dari hulu sampai hilir begitu (ketat). Kita mengapresiasi MUI. Tidak bisa disamakan, itu dinamika di antara negara-negara OKI. Vaksin AstraZaneca ini mendapat cap halal dari Arab Saudi, Inggris, UEA, India. Di Australia, kalimatnya bukan "halal" tapi "diperbolehkan" (permissible)," ujar Epidemiolog Griffith University, Australia Dicky Budiman dalam Bincang Sehat RMOL.id bertema "Kupas Tuntas Vaksin AstraZaneca" pada Jumat (26/03/2021).

Menurut Dicky, ada hikmah di balik pelemik halal-haram ini. Masyarakat masih menghadapi pandemi sementara ketersediaan vaksin sebagai proteksi masih terbatas. Apa yang disampaikan MUI tentang proses di hulu pengembangan vaksin yang melibatkan gelatin, tidak bisa dibantah.

"Faktanya, gelatin merupakan pilihan yang sangat terbatas untuk proses riset vaksin. Beruntungnya Indonesia, Sinovac memakai metode protein rekombinan, dengan MUI terlibat sejak awal. Namun ada beberapa perusahaan vaksin yang dengan dasar keamanan dan efektivitas, mereka memakai gelatin," ujar Dicky.

"Riset vaksin itu sifatnya super extra ordinary dalam urusan keamanan. Jika diubah, perlu waktu lama, untuk saat ini waktunya tidak terkejar. Untuk ke depannya, nanti akan ada banyak jenis vaksin. Bagi Indonesia (dan negara Muslim lain) halal nomor satu, selain aman dan efektif. Karena itu lembaga-lembaga berwenang harus bersinergi, jangan sampai sudah deal untuk pengadaan vaksin tapi bermasalah dalam penggunaannya karena terganjal isu halal," tambahnya.

Dicky mencontohkan vaksin meningitis yang pernah ditolak masyarakat karena status tidak halal. Vaksin tersebut akhirnya dihibahkan ke Afrika.

Ia mengingatkan masyarakat, saat ini kita sangat memerlukan vaksin mengingat keterbatasannya, kejar-kejaran dengan waktu. Seharusnya sejak awal melibatkan MUI, jangan sampai vaksin sudah ada tapi tidak digunakan. Komunikasi ke masyarakat nantinya akan kurang baik. "Masyarakat kita pasti melihat statement pertama dari MUI, halal atau tidak, apalagi di daerah-daerah. Maka informasinya harus dikelola dengan bijak dan cermat," tegas Dicky.

Karena itulah, menurut Dicky, lembaga otoritas yang punya kewenangan memberi legitimasi vaksin harus bersinergi sejak hulu sebelum didistribusikan ke publik. Secara umum, vaksin AstraZaneca di sebagian negara Muslim dianggap "diperbolehkan" dan di sebagian negara lain disebut "halal".

Harus diakui bahwa komunikasi menjadi tantangan besar yang harus dikelola dengan baik. Tujuan dalam fatwa MUI sebenarnya adalah mengharuskan umat Islam untuk berpartisipasi aktif dalam vaksinasi sebagai satu bentuk ikhtiar mengatasi pandemi. Namun ada pihak-pihak yang justru menguak informasi di bagian hulu yang mengakibatkan pro kontra.

"Diperlukan strategi berbasis komunikasi risiko agar masyarakat bisa menerima dengan baik dan menjalankannya. Sangat penting untuk meminimalkan pro kontra karena berimbas pada berkurangnya antusiasme masyarakat untuk vaksinasi," kata Dicky.

Terkait keraguan terhadap efektivitas vaksin melawan virus varian baru seperti B117, Dicky meluruskan bahwa vaksin sangat efektif. Berdasarkan hasil diskusi para ahli virologi , strain baru tidak menurunkan efikasi vaksin.

Masyarakat harus bersyukur karena efektivitas vaksin 100 persen mencegah penyakit berat. Itulah inti dari pengendalian pandemi, yaitu jangan sampai ada orang yang harus dirawat di rumah sakit. Tubuh manusia jauh lebih sempurna dari makhluk lain. Sistem pertahanan tubuh manusia terbilang kompleks sementara virus—meskipun beragam jenisnya—tidak terlalu pintar untuk menginfeksi. Sel T dalam tubuh manusia luar biasa.

Vaksin jenis apa pun pada dasarnya efektif. Hanya saja saat ini jumlahnya masih terbatas dan masih banyak orang yang ragu tentang perlu tidaknya menerima vaksin. Menurut Dicky, orang tanggung jawab moral masih kurang. Setiap individu memliki peran, baik terhadap kelompok terkecil (keluarga) maupun masyarakat. Jika ada berita vaksin yang salah, luruskan. Jika tidak tahu, cari tahu dari sumber yang kredibel.

Vaksin sangat penting yang menjadi bagian dari pengendalian pandemi. Aspek tracing, test, treatment, dan karantina penting dijalankan pemerintah. Masyarakat juga harus disiplin 5M. Sudah divaksin atau belum divaksin, 5M wajib dijalankan.

"Dalam penyelenggaraan vaksinasi, jangan sampai abai. Vaksin aman, diperbolehkan, dan efektif, tapi pelaksanaannya mengabaikan aspek pencegahan. Orang divaksinasi malah terinfeksi. Tempat vaksinasi malah jadi klaster, sudah ada contohnya. 5M harus konsisten," tegas Dicky.

Keamanan AstraZaneca

Untuk menilai keamanan vaksin, harus ada pemantauan di lapangan saat implementasi vaksinasi untuk melihat kejadian ikutan pasca imunisasi. Tapi dari satu kejadian, contohnya kasus pembekuan darah yang terjadi di Eropa, tidak bisa serta merta dikaitkan dengan seluruh populasi. Harus ada indikator. Salah satunya, dilihat dari uji klinis fase 3 AstraZaneca, tidak ada efek samping berkaitan dengan pembekuan darah. Itu artinya, secara scientific, tidak ada keraguan.

Kehati-hatian berikutnya adalah dengan melihat background rates, melihat angka kejadian kasus tersebut sebelum ada vaksinasi. Trombosis (penggumpalan darah) secara umum bisa terjadi pada 1 dari 1000 orang dan 1 dari 4 kematian di dunia juga berkaitan dengan trombosis. Di Eropa, terjadi 37 kasus pembekuan darah dari 20 juta populasi vaksinasi. Hasil tracing hingga autopsi memastikan tidak ada kaitan dengan AstraZaneca.

Vaksin aman digunakan untuk memunculkan kekebalan. Semua dugaan harus dianalisis dengan basis data dan sains. Hal itu berlaku untuk semua jenis vaksin.

"Saya tegaskan, tidak ada isu berbasis sains yang bisa dijadikan ganjalan (untuk vaksin AstraZaneca)," kata Dicky.

 

 




Hindari Cedera, Perhatikan 5 Cara Berlari yang Benar

Sebelumnya

Benarkah Mengonsumsi Terlalu Banyak Seafood Bisa Berdampak Buruk bagi Kesehatan?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Health