Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

DIREKTORAT Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan RI melalui laman @ditpsd mengunggah sebuah gambar disertai caption "Selamat Hari Peduli Autisme Sedunia! Lindungi anak penyandang autisme, ciptakan lingkungan yang inklusif." Unggahan tersebut menandai World Autism Awareness Day yang diperingati setiap tanggal 2 April.

Salah satu masalah yang hingga kini dihadapi banyak orangtua adalah tidak mudahnya menemukan sekolah yang mengakomodasi anak penyandang autisme. Karena itulah lingkungan yang inklusif, terutama di lembaga pendidikan, menjadi satu syarat yang harus dipenuhi agar anak-anak penyandang autisme bisa mendapatkan hak untuk belajar dan mendapat pengajaran. Termasuk juga kesempatan untuk bersosialisasi.

Masih sangat terbatasnya jumlah sekolah yang bersedia menerima anak-anak dengan spektrum autisme sangat disayangkan mengingat Intelligence Quotient (IQ) alias ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, serta rasio mereka umumnya tergolong tinggi.

Di sisi lain, meskipun jumlah sekolah inklusif ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) masih minim, kita harus mengapresiasi hadirnya lembaga-lembaga terapi ABK yang dikelola pihak swasta untuk menunjang kebutuhan pelatihan seputar keterampilan sehari-hari dan pengetahuan akademik dasar.

Kita juga melihat mulai bertumbuhnya komunitas dan yayasan bagi para penyandang autisme dan orangtua mereka. Tak hanya rutin menggelar sharing untuk menambah pengetahuan dan saling menguatkan, komunitas juga biasanya menggelar kegiatan untuk menambah kepercayaan diri anak-anak dalam bidang olahraga dan seni.

Di antaranya ada London School Center of Autism Awareness yang digagas Prita Kemal Gani, Yayasan Autisma Indonesia yang digerakkan Ferina Widodo, dan Forum Komunikasi Orangtua Anak Spesial Indonesia (FORKASI) yang diinisiasi Dedi Ekadibrata.

PBB menetapkan World Autism Awareness Day dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan dukungan masyarakat terhadap hak orang dengan autisme agar mampu menentukan arah perkembangan dirinya, mandiri dan otonom, serta mengakses pendidikan dan pekerjaan berlandaskan kesetaraan.

Perjuangan menjadi orangtua anak penyandang autisme memang tidak mudah. Namun dengan menerima (acceptance), orangtua akan mampu mencurahkan segenap rasa dan raganya untuk mendampingi dan membimbing si buah hati. Dengan menerima, orangtua akan termotivasi untuk terus menambah pengetahuan seputar autisme, mengasah keterampilan dan kemandirian anak, serta menyiapkan anak untuk bisa berdiri kuat di masa depannya.

Hal terakhir itulah yang kiranya menjadi 'warisan' terbaik orangtua untuk anak penyandang autisme. Mungkin saat ini orangtua masih harus berjuang lebih keras agar anak-anak penyandang autisme bisa mendapat pendidikan akademik yang setara dengan anak-anak lain.

Tak ada salahnya mencari peluang di sekolah-sekolah formal yang dirasa memiliki kapasitas dan fasilitas yang dapat mendukung perkembangan si buah hati. Saatnya berusaha membuka mata (dan hati) pihak sekolah untuk memberikan hak belajar kepada anak penyandang autisme.

Orangtua bisa mengatakan bahwa menjadikan sekolah inklusif berarti menaikkan 'level' sekolah dibandingkan sekolah lain. Tak hanya karena bersikap adil dengan memberi kesempatan pada anak penyandang autisme untuk belajar, tapi juga memberi kesempatan pada guru, karyawan sekolah, para siswa, juga orangtua siswa lain untuk menghargai perbedaan, menempa empati, dan terampil mengelola interaksi sosial dengan anak-anak penyandang autisme.

Dengan begitu, sekolah inklusif tak hanya menyebarkan ilmu pengetahuan tapi juga menyebarkan kebaikan dengan mendukung pendidikan yang adil dan merata serta menjadi miniatur masyarakat yang saling peduli.

Dengan semakin banyaknya sekolah yang membuka pintu lebar-lebar bagi penyandang autisme, kita pun berharap semakin banyak perguruan tinggi yang bisa menyediakan bangku bagi mahasiswa penyandang autisme.

Salah satu yang menonjol saat ini adalah Institut Pertanian Bogor dengan program inklusi ABK-nya di bidang yang berpotensi menempa kemandirian di masa depan seperti peternakan, perikanan, pertanian, juga pengolahan pangan.

Yang terpenting adalah bagaimana menanamkan keyakinan diri dan kebiasaan positif hingga kelak anak menjadi terbiasa serta mampu mengembangkan diri di bidang yang ia sukai dan kuasai.

Orangtua, terutama ibu yang sepanjang hayat menjadi 'pusat kehidupan' bagi anak, sebaiknya membagi peran kepada anggota keluarga lain, agar mereka pun bisa memahami, bisa dekat, dan bisa mendukung si buah hati jika ternyata ibu tak lagi ada di sampingnya.

Orangtua wajib menjaga, namun sungguh tak bijak bila menyembunyikan anak penyandang autisme dari tetangga dan masyarakat. Saatnya merangkul mereka agar bisa memahami dan bersahabat dengan buah hati terkasih.

Saat lelah mendera, resapilah kisah Ibu Sri Murni dari Semarang yang berhasil mendidik putranya yang penyandang autisme, Faisal Hakim, sukses berwirausaha bidang pertanian dan peternakan. Semasa kecil, Faisal tidak bisa ikut terapi khusus karena keterbatasan ekonomi keluarga. Tapi semangat lillahi ta'ala Bude Murni membuatnya belajar dari pengalaman sehari-hari, hingga akhirnya berhasil mendidik Faisal menjadi sosok mandiri.

Mewariskan kemandirian bagi anak penyandang autisme adalah tantangan. Semoga semua orangtua selalu dikuatkan dalam menyingkirkan penghalang demi penghalang yang merintangi jalan menuju masa depan penuh harapan bagi buah hati tercinta.

 




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News