PANTASLAH Nabi Muhammad tegas menyebutkan, “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Jangankan pasangan itu, jangan ditanya bagaimana anak-anaknya, bahkan masyarakat juga ikut terguncang. Buktinya, tatkala seorang ustaz kondang menggugat cerai istrinya, maka publik Tanah Air pun bergetar. Terdengar suara-suara nelangsa, karena bagi budaya kita yang mayoritas penduduknya muslim, perceraian itu terdengar menyeramkan.
Di tengah hiruk pikuk perebutan jabatan ketua partai, saat angka korban Covid-19 terus melonjak, ketika aksi terorisme dua kali beruntun terjadi, perceraian ustaz ini tetap menyita perhatian publik.
Tampaknya perceraian itu masih tergolong menyakitkan bagi masyarakat, seperti sakitnya jabatan ketua partai yang dikudeta, mungkin dipandang menakutkan seperti aksi teror, atau juga dianggap menyedihkan sebagaimana berjatuhannya korban jiwa akibat pandemi.
Mari kita lihat pandangan macam itu sebagai hal yang positif, sebab akan menjadi runyam kalau masyarakat sudah mengira perceraian itu sebagai dinamika yang biasa, semudah mengganti saluran channel televisi pakai remote saja.
Jika memang Tuhan benci, lantas mengapa Islam tidak menutup rapat-rapat pintu perceraian itu? Tentunya ada alasan kuat di balik keputusan demikian berat.
Sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah 3, bahwa di dalam kitab Asy-Syifa', Ibnu Sina berkata, “Perceraian harus diberikan jalan yang tidak boleh ditutup secara mutlak dari segala arah. Apabila hal itu terjadi, maka hanya akan mendatangkan kerugian dan celah yang lebih besar. Penyebab dari semua itu karena ada beberapa watak orang yang tidak cocok dengan watak orang yang lain. Setiapkali dilakukan usaha untuk menyatukan keduanya, kerusakan dan perselisihan akan bertambah banyak, dan itu hanya akan memperkeruh keadaan. Selain itu, penyebab lainnya adalah bahwa ada sebagian laki-laki yang menikah dengan perempuan yang tidak sekufu dengannya sehingga hal itu menyebabkan interaksi yang canggung antarkeduanya. Penampilan fisik juga dapat menjadi penyebab perceraian karena rasa suka merupakan hal yang alami. Karena itu, apabila hal itu tidak diberi jalan keluar maka perseteruan yang terjadi bisa berakibat lebih fatal. Oleh karena itu, perceraian harus tetap diberikan jalan, tapi dengan peraturan yang tegas.”
Kendati pintu darurat perceraian itu ada, akan tetapi tetaplah ditegaskan itu hanyalah halal yang mendapatkan kebencian Tuhan. Kalau begitu kira-kira di manakah posisi kita dalam perspektif ini?
Pasangan punya cacat, cela atau kekurangan? Ah, di atas segala kemuliaan dan keagungan Aisyah, pada istri tercinta Rasulullah itu juga terdapat sifat-sifat manusiawi seperti emosional, marah, cemburu dan lain-lain. Karakter unik yang melekat pada Aisyah itu tidak mengurangi cinta Nabi Muhammad kepadanya, dan tidak menurunkan sedikit pun kehormatan dirinya di mata kaum muslimin sebagai Ummul Mukimin.
Artinya, masyarakat Islam telah benar-benar dewasa dalam menyikapi masalah rumah tangga, tak terkecuali dalam memandang dinamika keluarga Rasulullah. Mana ada sih manusia yang sempurna?
Kalau pun umat heboh bukan karena permasalahan rumah tangga, bukan karena dapat bahan buat digosipkan, akan tetapi mereka khawatir Rasulullah menceraikan istri-istrinya. Karena di suatu masa, para istri pernah menuntut kenaikan nafkah belanja, padahal sebagai pemimpin Nabi Muhammad tidak akan pernah hidup bermewah-mewah, demi menenggang kehidupan rakyat yang berkekurangan.
Abu Bakar dan Umar langsung menegur keras, putri-putri mereka yang harusnya bersyukur dengan nafkah yang mencukupi dan tidak menuntut yang berlebihan. Kedua mertua itu amat khawatir putri mereka akan diceraikan atas kesalahannya. Akan tetapi Rasulullah tersenyum, beliau tidak menceraikan mereka tetapi memberikan pelajaran berharga tentang konsep hidup bersahaja dan banyak-banyak bersyukur.
Bagi yang rajin membaca dan menelaah Alquran, akan menemukan berbagai ayat yang membahas masalah rumah tangga Rasulullah. Semuanya dibahas secara terbuka, tanpa ditutup-tutupi. Dan tidak pernah terjadi perceraian, karena seberat apapun persoalan toh bisa diselesaikan dengan kepala dingin, lagi pula akar masalah itu berpangkal dari dimensi kemanusiaan. Apa artinya?
Begini. Apabila dibuat keputusan bercerai, lalu menikah dengan yang lain, apakah dijamin tidak akan ada masalah? Tentulah tidak demikian. Selagi kita menikah dengan manusia, maka pada dirinya melekat pula kekurangan dan kelebihan sebagai karakter sejati kemanusiaannya.
Sederhananya begini, jika kita mencari orang yang benar-benar cocok dengan karakter kita, maka sepanjang hayat ini akan kita habiskan hanya untuk terus mencari saja. Akan tetapi, bila kita berupaya mencocokkan diri dengan pasangan, maka kesempatan untuk serasi itu akan selalu terbuka.
Terkait dengan rencana perceraian ustaz kondang itu, patutlah dipuji orang-orang yang tidak geger karena mendapatkan bahan gosip, melainkan heboh agar perpisahan itu tidaklah terjadi. Sikap inilah yang patut dipuji sebagaimana karakter utama dari masyarakat Islam Madinah yang telah dibina Rasulullah.
Sejatinya ustaz kondang ini putus nyambung dengan istrinya yang juga pendakwah top ini. Pernah bercerai lalu rujuk kembali, dan lagi-lagi berencana untuk bercerai dengan mengajukan gugatan ke peradilan agama. Kabar yang tersiar gugatan itu telah dicabut, mungkin ini dapatlah disebut sebagai berita sejuk.
Pasangan ustaz dan ustazah ini tentu amat paham agama, dan semoga lebih memahami lagi dampak perceraian itu selaku publik figur, yang jangan sampai membuat masyarakat memudahkan pilihan jalan yang sesungguhnya dibenci Tuhan ini. Sekali lagi ditegaskan, perceraian bukan hanya berdampak pada pribadi atau keluarga, tetapi juga lingkungan masyarakat.
Hanya Allah yang mengetahui, apakah pasangan ini akan kembali bersatu atau akhirnya berpisah. Terlepas nanti bagaimana takdir cinta keduanya berujung, kita masih dapat mengapresiasi sikap masyarakat Indonesia yang tidak sibuk bergosip tetapi mendoakan yang terbaik.
Prahara yang mengguncang rumah tangga ustaz dan ustazah pesohor ini menjadi pelajaran bagi kita semua, berhati-hatilah melakukan sesuatu yang halal, apalagi kalau ujung-ujungnya dibenci Tuhan.
KOMENTAR ANDA