ALKISAH, setiap kali ditraktir makan enak oleh pihak kantor, perusahaan, kolega, teman atau siapa saja, maka setelah itu suami tersebut akan kerja lembur dan mati-matian menabung. Kenapa ya?
Setelah uang terkumpul dengan susah payah, maka dia pun mengajak istri dan anak-anaknya makan-makan enak di tempat tersebut. Lelaki itu hanya makan sedikit, perlahan-lahan saja demi memberi kesempatan luas bagi anak istrinya mencicipi makanan lezat, yang tentunya juga mahal. Akan tetapi suami itu merasa makan yang sedikit bersama keluarga jauh lebih nikmat dibanding makan pesta-pora bersama koleganya.
Begitulah cara unik lelaki itu memaknai sakinah. Dia tidak bersalah karena ditraktir makan enak oleh siapa pun. Tetapi sejujurnya dia tidak pula benar-benar menikmati. Ketika mengunyah dirinya merasa ada keberkahan yang kurang, apalagi pikirannya membayangkan istri dan anak-anak yang tak tahu makan apa atau jangan-jangan lagi tidak makan.
Ternyata lelaki itu bersikap demikian karena terinspirasi dari rumah tangga Rasulullah. Di antaranya sebuah kisah yang menggetarkan relung kalbu yang diceritakan oleh Said Hawwa dalam buku Al-Islam berikut ini:
Dari Aisyah bahwa suatu ketika Rasul saw. datang kepadaku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu (yang bisa dimakan)?”
Aku menjawab, “Tidak ada.”
Setelah itu beliau berkata, “Kalau begitu hari ini aku berniat puasa.”
Dari kisah di atas, tergambar tekad lelaki itu untuk susah senang bersama, lapar atau kenyang bersama pula, bahkan makan tidak makan yang penting bersama keluarga. Terlepas dari perdebatan mengenai sikap lelaki itu, sebetulnya ada berbagai inspirasi lain dari kisah keluarga Rasulullah di atas.
Faktanya, jelas sekali Nabi Muhammad sedang dirundung lapar. Kalau tidak, buat apa beliau menanyakan makanan kepada istrinya. Pernahkah kita merasa lapar, dan tidak menemukan makanan apapun di rumah?
Kalau hanya sampai di sini pertanyaannya, maka akan cukup banyak yang menjawab, “Pernah.”
Akan tetapi, yang acap kali terjadi, makanan sih memang tidak ada namun tersedia uang untuk makan di luar. Bahkan makan-makannya malah jadi lebih enak, bisa pesta-pora segala.
Lain ceritanya kalau yang ditanya itu, pernahkah kelaparan dan tidak ada makanan sama sekali di rumah, tidak pula punya uang buat membeli makanan di luar, sehingga berujung puasa? Kemungkinan yang menjawab pernah hanya sedikit sekali, itu pun kalau memang benar-benar ada yang mengalami demikian.
Dan begitulah Saudara-saudara tercinta! Rumah tangga suci yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad berulangkali dirajam lapar. Pernah pula Aisyah berkisah, dapur Rasulullah tidak mengepulkan asap beberapa kali purnama. Dengan apa keluarganya bertahan? Dengan air dan kurma serta sumbangan tetangga Anshar.
Kondisi lapar, yang bagi sebagian orang sampai tega mengganti agamanya, justru tidak menggoyahkan kedamaian sakinah dalam keluarga Rasulullah. Tidak ada tuh ceritanya pertengkaran rumah tangga disebabkan himpitan ekonomi. Inilah kejadian yang amat menguji dimensi manusiawi, di mana kualitas kemanusiaan lebih tinggi dari binatang yang sepanjang hayatnya hanya bertarung demi masa depan perut.
Begitulah realita keluarga sakinah, yang dipampangkan secara lugas oleh rumah tangga Rasulullah. Sakinah itu bukan berarti bebas masalah. Kali itu, masalah keluarga Nabi amatlah mendasar, yakni tiadanya makanan. Pada persoalan begini, biasanya emosi lekas naik, akal jadi buntu, dan dapat bermuara pada pertengkaran, pertikaian dan bahkan kebinasaan.
Orang-orang dahulu sampai bilang, lebih baik berkelahi dengan manusia daripada berkelahi dengan usus sendiri. Lapar itu menyakitkan, dan dapat menggoyahkan pertahanan diri.
Ibu-ibu zaman dulu, sebelum pernikahan, akan menasehati putrinya; jangan sampai suamimu lapar, karena itu dapat memunculkan kemarahan. Dari itu pula dalam tradisi suku Minang, ibu rumah tangga itu disebut juga induak bareh atau induk beras, menggambarkan betapa besarnya peran istri atau ibu dalam perkara logistik.
Akan tetapi, lain halnya dengan Rasul, saat mendapati tidak ada makanan di rumah, emosi beliau tidak meledak. Nabi Muhammad tidak meremehkan, menyalahkan atau memarahi istrinya. Malahan beliau memandang positif, ketiadaan makanan menjadi kesempatan meraih pahala berpuasa.
Hebat ya!
Intinya pengendalian diri, itulah kalimat yang sering diulang-ulang ustaz kondang Zainuddin MZ. Dan demikian pula petikan hikmah dari kisah Nabi Muhammad dengan Aisyah. Cobaan rumah tangga itu beda-beda, ada yang diuji dengan ketiadaan makanan, tetapi keluarganya malah sakinah, tenang-tenang saja dalam prahara.
Ada juga yang cobaan rumah tangganya berupa makanan yang berlimpah ruah, tetapi tidak pandai dalam mensyukur. Bukannya berbagi malahan limpahan rezeki diterkam sendiri, yang berujung malasnya tubuh dalam ibadah, beratnya badan berkegiatan, berbagai penyakit muncul di kemudian hari, gaya hidup konsumtif yang mahal, menipisnya rasa syukur dan lain-lain.
Apapun dapat saja menjadi masalah dalam rumah tangga, dan puasa mengajari kita untuk mengendalikan diri. Masalah demi masalah boleh datang silih berganti, akan tetapi ketegaran kita itu tegak bersama rasa sakinah yang kokoh.
Insyaallah, tahun ini kita pun akan berjumpa dengan Ramadhan, di mana puasa menjadi ibadah utamanya. Pada kesempatan amat mulia ini, keluarga-keluarga muslim berkesempatan meramu sakinah dalam rupa terindah. Makan tidak makan, lapar atau pun kenyang, intinya adalah pengendalian diri, yang menjadi saripati ibadah puasa.
Maha suci Allah yang telah memberikan hikmah-hikmah kebenaran dengan hadirnya Ramadhan. Puasa mengajarkan kita bahwa masalahnya bukan lapar dahaga, karena martabat manusia lebih tinggi dari perutnya.
KOMENTAR ANDA