MEMANG faktor intrinsik atau unsur-unsur dari dalam diri amatlah menentukan sikap hidup kita. Namun siapa yang dapat menyangkal kalau bi`ah atau lingkungan juga kuat pengaruhnya.
Lagi pula kita bukanlah manusia suci seperti Nabi yang tak ternoda secuil pun oleh tradisi jahiliyah. Kita hanyalah manusia biasa, yang mestilah waspada memelihara kemurnian jiwa.
Makanya dalam pendidikan anak, orangtua sangat perlu mempertimbangkan faktor lingkungan. Bukan hanya selektif memilihkan sekolah unggulan, tetapi juga berhati-hati dalam menentukan tempat tinggal. Karena kebanyakan anak itu dicetak oleh lingkungan pergaulannya.
Begitu pula dengan Ramadhan yang mulia ini!
Sukses tidaknya Ramadhan juga tak terlepas dari faktor lingkungan. Makanya, salah seorang artis religi yang legendaris, mengasingkan diri sebulan penuh ke pesantren agar dirinya mendapatkan lingkungan yang mendukung untuk memaksimalkan Ramadhannya.
Akan tetapi tidak setiap orang beruntung punya lingkungan yang mendukung. Namun itu bukan berarti kita tidak dapat menciptakan Ramadhan dengan lingkungan yang mengesankan. Meskipun untuk itu, kita akan menghadapi berbagai romantika.
Pendek kata nih! Sekiranya di hadapan kita yang lagi lapar-laparnya berpuasa, lantas ada orang yang memamerkan aksi makan-makan enak. Ah, tampaknya dengan provokasi macam ini, kita tidak akan terpengaruh amat. Terlebih lagi di masa krisis begini makin banyak saja orang yang terlatih menghadapi lapar dahaga. Levelnya teramat rendah kalau mental ambruk karena godaan makanan.
Memang sih ibadah Ramadhan ini teramat personal, orang bisa saja tidak tahu menahu kita benar-benar sedang berpuasa atau diam-diam telah bersantap ria. Akan tetapi puasa itu bukan perkara lapar dan dahaga saja.
Ujian terberat dalam Ramadhan indah ini justru pengendalian diri, atau menahan diri, yang mana kita akan merasakan beratnya menghadapi provokasi demi provokasi.
Ketika tengah berupaya menurunkan tensi emosi, eh berbagai provokasi malah datang membakar. Justru di bulan Ramadhan ini bermunculan berbagai penyulut amarah; anak-anak makin rewel, suami atau istri banyak tuntutan, atasan yang kian galak, rekan yang membawa masalah rumah tangga ke kantor, tetangga yang makin nyinyir, tukang parkir berlagak bak tukang palak, peminta-minta yang datang bagaikan meriam dalam perang, setan telah dibelenggu tapi kok makin banyak manusia yang kesetanan dan lain-lain.
Itu semua contoh dari faktor eksternal, yang dapat memengaruhi kualitas dari ibadah puasa kita.
Ketika diri kita meresapi puasa Ramadhan sebagai pengendalian syahwat, eh provokasi berselimutkan godaan malah datang bagaikan tsunami. Pornografi bukan lagi sembunyi-sembunyi, malahan berkeliaran nyata di depan mata berupa pornoaksi. Bukan hanya pandangan mata, tetapi juga godaan sedapnya aroma yang tak kalah memabukkan. Istri di rumah sudah cantik jelita, tetapi masih saja tergoda dengan yang lain, yang kok terlihat amat menarik. Teknologi informasi makin memanjakan diri, sekaligus gadget canggih itu pula memudahkan dosa-dosa syahwat.
Ternyata ada yang lebih mengerikan dibanding syahwat yang berhubungan dengan kemaluan, yakni syahwat kekuasaan. Nafsu macam ini malah kian edan, tidak peduli dengan bulan suci.
Jabatan, kekuasaan dan apalah itu istilahnya lebih merangsang naluri kebinatangan manusia yang tak segan menerkam temannya sendiri. Syahwat kekuasaan dapat menjungkirbalikkan kenyataan; teman jadi lawan, musuh jadi teman. Bukan lagi aksi sikut-sikutan, tetapi berupa terkam menerkam, homo homini lupus.
Tapi mau bagaimana lagi, godaan syahwat kekuasaan ini memang menggoda, dan tak jarang pula membuat gelap mata. Dan terkadang membuat lupa kalau kita tidak boleh menyakiti, apalagi di bulan Ramadhan nan suci ini.
Akibatnya, karena terus-terusan digoda, lambat laun pun kita tertelan olehnya. Berhubung sering diprovokasi, kita pun meledak emosi. Terus menerus dipancing, kita pun menelan umpan beracun itu. Dan akibatnya, hakikat pengendalian diri sebagai saripati Ramadhan pun berantakan. Akankah kita akan melewatkan Ramadhan ini tanpa perbaikan diri?
Nah, jadi terlihatkan maksud dari judul tulisan ini?
Kita juga butuh bantuan dari pihak luar diri agar berhasil meraih puncak kegemilangan Ramadhan. Kita butuh ketenangan agar terjauh dari provokasi emosi. Kita menginginkan kesyahduan yang terjaga dari dosa-dosa syahwat.
Lantas bagaimana kalau ketika berpuasa ini kita mendapatkan provokasi, pancingan hingga godaan?
Nabi Muhammad mengajarkan cara yang baik, sebagaimana diterangkan oleh Maulana Muhammad Ali dalam Kitab Hadits Pegangan, bahwa Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Puasa adalah perisai seseorang untuk membentengi dirinya, maka hendaklah dia (yang berpuasa) tidak dia mengucapkan kata-kata yang tidak baik (keji), atau janganlah dia bertingkah laku bodoh; dan bila seseorang mengajak bertengkar atau memakinya, maka katakanlah, ‘Aku berpuasa!’ dua kali.”
Dua kali lho kita sampaikan kepada pihak yang memprovokasi atau menggoda atau memancing itu. Dua kali ini menunjukkan penegasan, betapa kita akan berusaha sekuat tenaga memelihara kualitas puasa.
Ada yang memancing perseteruan berselimutkan amarah, katakan padanya, “Aku berpuasa!”
Datang pihak yang menggoda nafsu, menggoyahkan pertahanan iman, katakanlah, “Aku berpuasa!”
Ada yang mengajak pada kejahatan, keburukan hingga kenistaan, katakanlah, “Aku berpuasa!”
Jangan pernah ragu menyatakan diri kita lagi berpuasa. Ini bukan pamer, melainkan perisai diri. Bahkan orang lain pun dapat menolong diri kita agar ikut menjaga kualitas puasa yang tengah kita jalani sepenuh hati ini. Caranya dengan menghargai komitmen kita memelihara kesucian Ramadhan.
KOMENTAR ANDA