TIDAK ada unsur misoginis, apalagi maksud diskriminasi nan terselubung, karena kisah berikut ini benar-benar menggambarkan betapa Islam sangat memerhatikan kualitas puasa pemeluknya. Dalam bukunya yang indah, berjudul Islam Aktual, Jalaluddin Rakhmat menceritakan:
Pada suatu hari Rasulullah saw. mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. Nabi mengambil makanan dan berkata kepadanya, “Makanlah!”
Kata Nabi kemudian, ”Bagaimana mungkin engkau berpuasa, padahal telah kau maki jariyah-mu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah telah menjadikan puasa sebagai penghalang –selain dari makan dan minum—juga dari hal-hal tercela, perbuatan atau perkataan yang merusak puasa. Alangkah sedikitnya yang puasa, alangkah banyaknya yang lapar.”
Lihatlah betapa spektakulernya ajaran Islam, bahkan memaki-maki atau berkata kasar kepada budak saja dilarang bahkan dikecam keras oleh Rasulullah. Apalah arti seorang budak, hanyalah manusia yang diperjualbelikan, kemerdekaannya telah hilang.
Sepanjang sejarah kelam perbudakan di persada dunia ini, majikan bebas berbuat apa saja pada budaknya, jangankan perlakuan kasar, bahkan nyawa budak itu pun bebas dipermainkannya.
Mari sama-sama kita bayangkan, betapa kagetnya perempuan itu. Perbuatannya baru di level memaki budak dengan perkataan kasar, akan tetapi teguran keras langsung diberikan oleh Nabi Muhammad. Dengan teramat tegas beliau memberinya makanan, sebagai simbol ibadah puasanya telah sia-sia gara-gara lidahnya.
Subhanallah!
Mempuasakan lidah jauh lebih berat ketimbang mempuasakan mulut dari makanan maupun minuman. Lidah ini tiada bertulang, dia bergerak, berlaku dan berucap sekehendaknya. Dan berbagai istilah pun bermunculan sebagai gambaran dari pedihnya lisan:
Orang-orang tua dahulu menyebutkan, meletus satu pistol mati satu orang, meletus satu mulut mati orang sekampung. Begitulah berbahayanya lisan yang tiada terjaga, orang sekampung bisa rusuh dan berujung petaka.
Dosa-dosa lidah itu bukan hanya banyak, tetapi juga berbahaya. Pedang memang tajam, tetapi jauh lebih tajam lagi lidah. Pedang menusuk tubuh dari luar, sedangkan lidah menusuk langsung ke lubuk jantung.
Apabila tubuh terluka, masih ada harapan sembuh, tetapi giliran lidah melukai hati, kemana obatnya hendak dicari? Tidakkah banyak orang yang hatinya terus terluka menganga, hatinya yang terus berdarah, padahal tertikam lidah itu terjadi puluhan tahun sebelumnya.
Untuk lidah-lidah yang tak bertulang itu, yang tidak pula pandai mengendalikan diri, maka hadirlah Ramadhan nan suci. Ada amalan berpuasa yang luar biasa, yang salah satunya yakni kita ditekankan untuk berpuasa lisan.
Selain jago mencicipi rasa enak, nikmat, lezat, maknyoss, dan sebagainya, sesungguhnya lidah juga hebat dalam olah dusta, produksi fitnah, tebar gosip, ajang adu domba dan sebagainya. Dan mengendalikan lidah dalam urusan makanan atau minuman relatif gampang dibanding mempuasakannya dari kata-kata sia-sia, apalagi kata kotor yang berlumur dosa.
Banyak orang yang punya ingatan sangat baik terhadap siapa saja yang pernah menyakitinya dengan lidah. Sayang, ingatannya malah memburuk bila disuruh mengenang orang-orang lain yang pernah disakiti oleh lisannya.
Bukan hanya perempuan, jika merujuk kisah pembuka, yang lidahnya pandai mencaci, karena lelaki juga ada yang tak kalah pedih lidahnya. Maka jadikanlah ini seruan bagi kita semua, puasakanlah lidahmu sebelum dia mencelakai hidupmu.
Lidahmu adalah harimaumu, yang akan merengkahkan kepalamu. Suatu saat lisan-lisan yang tak beradab itu akan kena batunya. Terus-terusan menyakiti orang, lambat laun dirinya akan dipukul balik, menanggung angkara murka.
Oleh sebab itu berhati-hatilah dengan bencana lidah, karena petaka yang didatangkan lidah jauh lebih mengerikan.
Lalu bagaimana cara mencegahnya?
Ya, pada Ramadhan ini marilah kita belajar puasa lidah. Bukan hanya dari makanan dan minuman, tetapi dari perkataan yang buruk. Jika tidak mampu berkata-kata baik, maka diam itu menjadi lebih baik.
KOMENTAR ANDA