BARANGKALI inilah tulisan yang paling mudah menebak arahnya, cukup hanya dengan membaca judul, langsung terang semuanya. Karena hampir setiap orang tahu Ramadhan memang bulannya pengeluaran membengkak, lalu buat apa lagi sih dibahas?
Tetapi ini bukanlah urusannya tebak-tebakan, sama sekali bukan. Inilah kesempatan emas untuk melihat dinamika Ramadhan dari berbagai perspektif, alias bukan terkotak dari satu sudut pandang saja.
Keluarga A:
Ketegangan terjadi, ya perseteruan mana lagi yang seru dibandingkan antara suami istri! Ramadhan baru saja berlangsung beberapa hari, tapi kok pengeluaran rumah tangga langsung membengkak?
Suami geram melihat kalender, akhir bulan ternyata masih lama. Ini akan menjadi pertanda buruk, tampaknya utang akan kembali jadi pilihan pahit.
Sedangkan istri geram dengan harga-harga; ikan melonjak, ayam naik, cabai malah meroket. Kecaman pun dilontarkan kepada berbagai pihak; petani yang tidak arif menentukan masa tanam, tengkulak yang mengeruk keuntungan, pedagang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, hingga pemerintah yang tak mampu mengendalikan harga. Lha, kok jadi banyak toh yang salah?
Suami melihat dari sudut lain, penyebabnya adalah budaya konsumtif yang menggila di bulan Ramadhan. Berbagai menu enak-enak dipesan, tempat-tempat makan bergengsi disambangi, dapur penuh sesak oleh makanan yang justru lebih sering tak termakan alias berujung mubazir. Belum lagi ganasnya nafsu berbelanja.
Sebetulnya, Ramadhan kali ini suami ingin ada perubahan. Sebaiknya tidak lagi berutang sana-sini, apalagi pukulan pandemi terhadap ekonomi masih teramat telak. Krisis ini belum jelas kapan selesainya, mestinya inilah saat yang tepat mengencangkan ikat pinggang, syukur-syukur dapatlah menabung.
Tetapi penentangan itu gencar dilakukan oleh istri dan anak-anak. Mau bagaimana lagi, mereka telah terbiasa berfoya-foya di bulan Ramadhan. Tidak mudah toh merubah kebiasaan!
Keluarga B:
Ketegangan juga menghangat di antara suami istri yang satu ini. Pasalnya, istri histeris dengan pengeluaran Ramadhan. Suami terlalu royal; membeli banyak makanan dan takjil lalu membagi-bagikan kepada siapa saja di jalanan, memberikan berkotak-kotak nasi kepada para tetangga, menyerahkan uang kepada tukang sampah, pemulung hingga anak-anak, selain itu suaminya gencar sekali bersedekah. Bahkan suaminya pun punya niat hendak membagikan sembako.
Keuangan yang membengkak itu membuat istrinya ngeri dan memperingatkan suami agar lebih bijaksana, hingga ketegangan pun terjadi. Istri menganjurkan suami banyak menabung karena krisis ini tidak jelas mana ujungnya, jangan-jangan malah bertambah lama. Dan istri tahu sekali betapa sejak sebelum Ramadhan suaminya lembur, kesana-kemari mencari penghasilan tambahan, eh uangnya malah diludeskan begitu cepat.
Suami punya alasan tersendiri, baginya justru ketika krisis beginilah berbagai bantuan itu amat bernilai bagi penerima. Meski hanya seteguk air itu dapat menyelamatkan nyawa.
Lagi pula momentum yang tepat itu memang ketika Ramadhan, di mana amal ibadah diganjar pahala berlipat ganda. Suami tidak mau kehilangan momentum sedahsyat ini, kalau soal rezeki nanti serahkan saja pada Allah, tentu asalkan kita mau berusaha.
Berkat semangat Ramadhan pula suaminya bahagia meski sahur hanya dengan sayuran ditambah ikan asin. Memang sih pernah makan daging, tapi itu dari sebungkus soto yang disantap sekeluarga, satu bungkus saja lho! Alangkah berkahnya!
Dari dua kisah di atas, kita tidaklah dapat menilai hitam putih, siapa benar siapa salah itu teramat relatif. Karena situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda-beda, maka berlainan pula cara menghadapinya.
Tetapi ada baiknya disimak kisah berikut sebagaimana dipaparkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Terjemah Lengkap Bulughul Maram:
Sa’ad bin Abi Waqqash bertanya, “Wahai Rasulullah, aku memiliki harta dan tidak ada yang mewarisi aku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga dari hartaku?”
Beliau bersabda, “Tidak boleh.”
Ia bertanya lagi, “Bolehkah aku bersedekah dengan separohnya?”
Beliau bersabda, “Tidak boleh.”
Ia bertanya lagi, “Bolehkah aku bersedekah dengan sepertiganya?”
Beliau bersabda, “Ya, sepertiga. Dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain.”
Begitulah bijaksananya Nabi Muhammad, yang memahami semangat beragama pengikutnya, tetapi mestilah diimbangi dengan rasionalitas. Kebaikan itu amat mulia, berlipat ganda pahalanya pada bulan Ramadhan. Akan tetapi berbuat baik untuk keluarga sendiri juga bernilai pahala, lagi pula keluarga adalah tanggung jawab kita, dunia akhirat.
Apakah masih layak disebut kebaikan apabila menimbulkan bencana bagi keuangan keluarga? Begitulah kira-kira inspirasi yang terpendam dari kisah di atas.
Jika berlandaskan hadis ini, kira-kira bagaimana ya kedudukan mereka yang berfoya-foya atau sampai level mubazir, atau malah berutang sana-sini demi memuaskan nafsu belaka?
Jawabannya teramat jelas, semua orang tahu, tetapi tidak setiap orang mampu meresapinya.
Hakikat puasa itu adalah menahan diri, jangan sampai menimbulkan mudarat besar hanya karena tidak mampu mengendalikan hawa nafsu. Kalau sebelum berbuka puasa, orang-orang bisa kalap beli apa saja, bahkan bisa khilaf yang lewat kecoa tapi terlihat bagaikan cokelat. Nah, di situlah letaknya hikmah Ramadhan. Kita berkelahi dengan diri sendiri, bertarung mengalahkan godaan nafsu yang rendah.
Kembali lagi nih ke tema utama, yakni membengkaknya keuangan. Dalam menyikapi fenomena ini, ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan:
Pertama, apakah keadaan membengkak itu membahayakan keuangan? Ingat, miskin itu dekat dengan kekafiran. Parahnya tumpukan utang lebih menyakitkan daripada bisul lho. Kita perlu menimbang-nimbang level bahaya yang mengancam keselamatan keluarga.
KOMENTAR ANDA