Pendukung Querdenken memprotes pembatasan virus corona di Stuttgart/ Foto: BBC
Pendukung Querdenken memprotes pembatasan virus corona di Stuttgart/ Foto: BBC
KOMENTAR

SEBUAH gerakan anti-vaksin di Jerman mulai merekrut ratusan anak ke dalam grup online pribadi. Tak hanya 'di balik layar', anak-anak juga mulai tampil dalam demonstrasi massa di berbagai tempat.

Salah satunya, seperti dilaporkan BBC, seorang anak perempuan yang usianya belum lagi 15 tahun, terlihat aktif bersuara dalam serangkaian demonstrasi yang digelar Querdenken, gerakan anti-lockdown dan anti-vaksin di Jerman. Gadis belia itu mengaku ia dikawal oleh polisi dari sekolahnya karena menolak untuk divaksinasi. Ia mengecam keras vaksinasi.

Querdenken menyebarkan beragam teori konspirasi tak berdasar seperti masker itu mematikan dan vaksin akan mengubah DNA manusia.

Demikian pula di layar YouTube, semakin bertambah jumlah remaja yang berani berbicara di video yang disebarluaskan.

Bagaimana anak-anak di Jerman bisa terlibat dalam gerakan kontroversial tersebut?

Querdenken diketahui muncul pertengahan tahun lalu dan dikenal secara internasional setelah demonstrasi di Berlin yang berujung pada penyerbuan parlemen Jerman. Meski mengklaim tidak berafiliasi ke partai mana pun, beberapa tokoh utama gerakan ini memiliki koneksi dengan kelompok sayap kanan. Mereka juga mendapat dukungan dari kelompok hippie, para spiritualis, dan kelompok agama tertentu.

Gerakan ini melahirkan banyak selebritas media sosial yang menyebarkan disinformasi, menjual produk, hingga meminta sumbangan dari para pengikut mereka.

Salah satunya adalah Samuel Eckert, seorang mantan pengkhutbah evangelis yang menjalankan saluran Telegram publik dengan lebih dari 120 ribu pelanggan. Menurut ahli komputer Josef Holnburger yang memelajari kebangkitan gerakan-gerakan di era digital, saluran Telegram Eckert termasuk yang paling populer di Jerman.

Eckert juga memiliki saluran "SE Youngsters" yang merekrut anak-anak usia 10 – 17 tahun. Di situsnya, terdapat halaman pendaftaran dan proses verifikasi untuk memastikan anak-anak yang mendaftar benar-benar berusia di bawah 18 tahun.

Dari sebuah sumber rahasia, diketahui bahwa grup tersebut membahas banyak teori konspirasi Covid-19, juga kesehatan mental yang memburuk, perundungan dan pengucilan di sekolah.

Gerakan anti-vaksin mengatakan bahwa tidak ada virus corona, yang ada hanyalah flu. Mereka juga tidak percaya lembaga-lembaga negara bahkan menganggap vaksin lebih berbahaya daripada penyakit itu sendiri. Beberapa anak juga mengatakan bahwa mereka putus sekolah karena tidak mau mematuhi kewajiban memakai masker atau mendapat intimidasi dari teman sekelas mereka.

Seorang ibu yang anaknya tergabung dalam kelompok anti-vaksin juga tidak percaya Covid-19 dan menolak disuntik. Menurutnya, penolakan sang anak terhadap Covid-19 tidak dipengaruhi oleh dirinya ataupun dieksploitasi oleh Samuel Eckert dan Querdenken yang berbasis di Stuttgart. Ia menekankan bahwa sejak kecil, ia mengajarkan kebebasan berpikir pada sang anak. Ibu itu juga menggambarkan bahwa sekolah telah menciptakan trauma bagi anaknya.

Keselamatan anak telah lama menjadi narasi yang kuat dalam teori konspirasi. Pada saat yang sama, banyak orangtua khawatir terhadap pendidikan dan kesehatan mental anak yang terganggu akibat lockdown, termasuk penutupan sekolah dan keharusan menjaga jarak sosial.

Kekhawatiran itulah yang dieksploitasi oleh Eckert. Ia menargetkan orangtua-orangtua yang sangat peduli pada anak mereka.

Dua hal yang digaungkan gerakan anti-vaksin adalah kebebasan diri sendiri (selaku orang dewasa) dan perjuangan demi anak-anak dan masa depan mereka.

Menanggapi tudingan kepadanya, Eckert berdalih bahwa grup Telegram yang ia kolola hanya berisi kaum muda yang skeptis pada Covid-19 dan saling memberi dukungan. Namun Eckert mulai berani mengeksploitasi anak-anak dalam kanal YouTube-nya. Anak-anak sering tampil bersama Eckert saat live streaming maupun dalam rekaman video pidatonya.

Tak hanya itu, para ahli memperkirakan gerakan Querdenken akan semakin besar dan kemungkinan menjadi lebih radikal.  Kelompok tersebut telah masuk dalam pengawasan pemerintah daerah karena tindakan yang makin ekstrem, termasuk menyerang para jurnalis dan menyerang pusat vaksinasi.

 

 

 




Kolaborasi Kementerian PPPA & Kementerian Komdigi Siap Perkuat Literasi Digital Perempuan dan Anak

Sebelumnya

Menag Nasaruddin Umar: Gerakan Kepramukaan Madrasah Harus Dikembangkan Demi Menyiapkan Generasi Adaptif dan Kreatif

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News