KOMENTAR

KOMUNITAS Hijabers Community (HC) menggelar acara ngabuburit virtual bertema "Thought, Action, and Change" pada 1 Mei 2021. Acara yang dipandu moderator Thatha Jundiah ini menghadirkan 3 narasumber yaitu Chef Haryo Pramoe, Irna Dewi, dan Dian Widayanti pada sesi 2.

Tema tersebut merupakan gambaran dari Ramadhan yang diharapkan menjadi bulan perubahan ke arah yang lebih baik. Selain dari segi spiritual, perubahan ke arah yang lebih baik juga diharapkan bisa terjadi dari segi kesehatan fisik dan lingkungan di sekitar para hijabers.

Karena itulah Ramadhan sejatinya harus menjadi titik balik bagi seorang Muslimah untuk menginstrospeksi kembali apa yang sudah dilakukannya dalam hidup ini. Untuk kemudian mencari solusi agar mampu menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun lingkungan.

Dengan semangat Thougt, Action & Change, setiap Muslimah diharapkan dapat memanfaatkan momentum Ramadhan untuk mengawali langkah kebaikan yang bermanfaat bagi sesama. #BeAnAgentofChange dengan memulai satu aksi nyata yang positif. Salah satunya adalah dengan berani mengatakan "halal, it's my way!".

Bagaimana menjadikan halal sebagai gaya hidup, khususnya dalam urusan makanan? Tiga narasumber ngabuburit virtual HC memberikan insight berdasarkan pengalaman mereka masing-masing dalam mengimplementasikan halal sebagai gaya hidup.

Memilih berhijrah dan mundur dari ingar-bingar dunia showbiz, Chef Haryo Pramoe menemukan kedamaian batin dengan mendalami Islam dan menjalankan syariah sebagai gaya hidup.

Mengaku sejak SD sudah suka membantu ibu di dapur, Chef Haryo sempat menjadi anak band semasa kuliah. Namun menyadari ia tidak memiliki keterampilan untuk mencipta lagu, ia pun akhirnya mundur dari dunia musik.

Chef Haryo kemudian masuk Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jurusan Perhotelan. Tak ada kesulitan terutama dalam urusan mata kuliah yang berhubungan dengan memasak. "Termasuk saat ujian akhir harus menghafal 100 resep masakan," kenang koki yang pernah belajar ke Belanda itu.

Koki yang wajahnya dulu seringkali wara-wiri di layar kaca itu kini concern dengan halal food.  Menurutnya, seiring usia yang bertambah dan pembelajaran terhadap nilai-nilai Islam yang juga terus bertambah, ia memahami bahwa makanan yang masuk ke perut seorang Muslim harus memenuhi syarat. Daging binatang, maka disembelihnya harus dengan nama Allah agar menjadi halal. Jika tidak maka menjadi haram.

"Saya berpatokan pada sertifikat halal MUI. Juga cap halal yang dikeluarkan otoritas halal di setiap negara. Steak misalnya, ada cap halal dari Norwegia, Inggris, Australia, dan lain-lain. Dan kita harus aware dengan apa yang ada di balik kode nutrition fat yang terkandung dalam sebuah produk makanan," kata Chef Haryo.

"Banyak cara untuk mengganti bahan makanan yang tidak halal agar masakan tetap bisa nikmat. Para ibu masa kini ayo kembali ke dapur, supaya anak-anak memiliki kenangan bahwa kuliner paling enak adalah masakan ibu," tambahnya.

Bicara tentang makanan halal terutama saat tinggal di negara dengan mayoritas penduduk nonMuslim, Irna Dewi berbagi pengalaman tinggal di kota Sendai, Perfektur Miyagi, Jepang.

Menurut Irna, ia termasuk beruntung karena banyak populasi Muslim di kotanya. Namun mendapatkan makanan halal tetap ada tantangannya.

Beruntung, ia bukan termasuk orang yang senang makan di restoran. Selain harganya terbilang sangat mahal, para pelayan di sana kurang lancar berbahasa Inggris.

Di sana, Irna memegang halal card, yang bisa ditunjukkan untuk mengetahui apakah bahan makan yang tersedia memenuhi persyaratan yang ada. Tapi tetap saja, dibutuhkan kecermatan untuk memahami bahan makanan yang dipakai untuk membuat produk makanan.

"Jangan sampai kita selalu membela diri dengan mengatakan 'kalau tidak tahu kan, tidak apa-apa.' Padahal kita bisa mencari tahu. Apalagi apa yang kita konsumsi akan berpengaruh pada kedekatan kita kepada Allah," ucap Irna.

Sementara itu, bagi Dian Widayanti seorang halal lifestyle enthusiast, ia memilih untuk mensosialisasikan makanan halal lewat platform TikTok. Dengan bahasa yang ringan dan menyenangkan, ia memberi informasi terkait bagaimana makanan disebut halal. Dian juga mengingatkan tentang apa-apa yang mesti diwaspadai sebelum mengonsumsi makanan.

Ia teringat pengalaman pribadinya dulu saat pertama ingin membuka katering dan mempekerjakan koki dari hotel bintang lima. Ternyata, bahan-bahan yang digunakan—terutama bahan impor—bukan bahan yang halal. Sejak itulah ia terus menggali tentang halal food. Ia pun sempat menetap di Swiss yang memperkaya pengalamannya untuk mengenali makanan halal.

Tentang 'dakwah' seputar halal food yang ia lakukan lewat video TikTok, menurut Dian awalnya hanya ditujukan untuk teman-teman dekatnya. Lambat laun makin banyak orang yang ingin tahu.

"Banyak orang yang denial (menyangkal) karena kaget dengan apa yang saya sampaikan. Tapi saya paham, itu adalah langkah awalnya. Saya juga dulu begitu...mempertanyakan masak sih, ini haram, itu haram. Saya sekarang hanya ingin berbagi (informasi)," ucap founder Eatever Indonesia ini.




Jaya Suprana: Resital Pianis Tunanetra Ade “Wonder” Irawan Adalah Peristiwa Kemanusiaan

Sebelumnya

Kemitraan Strategis Accor dan tiket.com Perkuat Pasar Perhotelan Asia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel C&E