MALAPETAKA wabah kelaparan dahsyat menimpa Ethiopia sejak 1983 sampai dengan 1985 menewaskan 1,2 juta rakyat, 2,5 juta warga terpaksa mengungsi dan sekitar 200.000 anak menjadi yatim-piatu.
Setelah malapetaka mahaprahara kelaparan berlalu, ternyata bangsa Ethiopia tidak hanya meratapi nasib nahas mereka. Secara lambat namun pasti segenap rakyat Ethiopia bersatupadu menggalang segenap kekuatan lahir-batin yang masih tersisa demi gigih membangun negara dan bangsa Ethiopia kembali bangkit dari puing-puing reruntuhan
Masa Kini
Kini Bank Dunia memaklumatkan bahwa Ethiopia kini berada pada peringkat ke-12 Negara Adidaya Pertanian dan Ketahanan Pangan menurut Food Sustainability Index (FSI) tepat satu tangga di bawah Amerika Serikat (urutan ke-11).
Pada saat yang sama, Ethiopia melakukan pergeseran secara bertahap dari ketergantungan tradisional pada pertanian menuju industri dan jasa. Sebelumya, kontribusi sektor pertanian mencapai hampir 80 persen dari ekonomi negara tersebut, kini meskipun masih menjadi kontributor terbesar, porsinya hanya di bawah 40 persen.
Sektor terbesar kini adalah bidang jasa. Industri, termasuk manufaktur dan konstruksi, kini sekitar seperempat dari PDB. Namun, pertanian tetap sangat penting karena melibatkan tiga perempat dari SDM Ethiopia.
Pembangunan Infrastruktur
Ethiopia gigih melakukan pembangunan infrastruktur, termasuk jalur kereta api yang menghubungkan Addis Ababa, ibukota Ethiopia dan tetangganya Djibouti senilai 4 milIar dolar AS. Ethiopia perlu mengakses laut, dan jalur kereta api sepanjang 750 km tersebut akan berfungsi sebagai penghubungnya dengan laut, yakni Teluk Persia, melalui pelabuhan di Djibouti.
Ethiopia juga membangun sistem kereta ringan (LRT) bawah tanah pertama di kawasan Sub-Sahara Afrika. Jalur kereta ini melintasi pusat kota Addis Ababa dan mampu membawa 30.000 penumpang per jam.
Segenap pembangunan infra struktur dilaksanakan sesuai dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang telah disepakati para anggota PBB sebagai pedoman pembangunan infra struktur planet bumi abad XXI tanpa merusak alam dan tidak menyengsarakan manusia.
Pembangunan bendungan raksasa di kawasan Benishangul-Gumuz yang berbatasan dengan Sudan di Ethiopia, dianggap sebagai proyek paling ambisius di Afrika.
Diharapkan bendungan tersebut berdaya tenaga listrik sekitar 6000 megawat untuk kebutuhan domestik mau pun ekspor.
Menakjubkan bahwa proyek bendungan akbar itu sepenuhnya didanai Ethiopia secara mandiri dengan 20 persen dibiayai obligasi serta sisanya dibiayai oleh pajak negeri.
Persatuan
Ethiopia tidak memiliki falsafah Pancasila namun tampaknya sudah mewujudkan segenap makna adiluhur yang terkandung di dalam Pancasila terutama sila Persatuan.
Sejarah Ethiopia berlumuran darah akibat kekerasan yang dilakukan dengan negara tetangga mau pun di dalam negeri sendiri.
Kini Ethiopia telah tersadar atas kekeliruan yang dilakukan di masa lalu maka segenap warga mulai dari rakyat jelata sampai penguasa bersatupadu membangun Persatuan Ethiopia dengan secara sadar menghindari kekerasan demi menghadirkan kestabilan politik dan perdamaian dengan politik demokrasi multi-partai.
Dilihat dari sumber daya manusia serta kemahakayarayaan alam jelas bahwa Ethiopia bukan apa-apa dibandingkan dengan Indonesia.
Maka jika Ethiopia bisa, Indonesia lebih bisa. Kalau mau.
Maka tidak ada salahnya, kita belajar dari Ethiopia demi mau dan mampu bersatupadu gotong royong membangun Indonesia menjadi sebuah negeri dengan masyarakat adil dan makmur yang bersama hidup dalam suasana gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja. Merdeka!
KOMENTAR ANDA