PENGHUJUNG Ramadhan ini, utamanya di malam-malam ganjil, segenap daya upaya dikerahkan oleh kaum muslimin untuk menyingkap suatu tabir rahasia, yakni Lailatul Qadar.
Masjid-masjid mendadak penuh sesak, jamaah membludak demi mengikuti qiyamul lail. Imam bersuara merdu yang hafal Al-Qur’an diundang, ta’mir masjid pun menyiapkan hidangan sahur menyambut para pejuang malam seribu bulan.
Akan tetapi, sayangnya, terkadang di luar masjid suasananya lebih ramai lagi, orang-orang yang mengobrol, bermain gadget, sambil asyik makan minum. Mereka pun begadang semalaman nyaris tanpa memejamkan sedikit pun matanya. Dan mereka pula mengaku dirinya pejuang Lailatul Qadar.
Lain lagi seorang lelaki paruh baya, dia menyingkir dari masjid yang biasa dihuninya beberapa tahun Ramadhan. Bukan! Dia tidak diusir dari sana, melainkan dirinya tidak lagi menemukan keheningan. Bertahun-tahun sebelumnya, ia sendirian saja menegakkan malam dengan munajat. Lelaki itu menemukan kenikmatan batin dalam mengejar malam Lailatul Qadar.
Begitu takmir masjid menggelar shalat malam berjamaah dan orang-orang pun membludak, maka dirinya pun memutuskan menyingkir dari keramaian. Akhirnya sebuah masjid mungil nan sepi dekat pemakaman yang menjadi pilihan hatinya mengejar malam keberkahan.
Hanya Tuhan yang mengetahui manakah jalan yang memuluskan hamba-hamba-Nya meraih keberkahan Lailatul Qadar. Namun kita patut apresiasi apapun upaya positif yang dilakukan setiap pribadi muslim demi mendapatkan malam seribu bulan tersebut, termasuk ibu-ibu yang shalat malam di rumah sembari menyiapkan santap sahur bagi keluarga tercinta.
Tetapi, apakah sebenarnya malam Lailatul Qadar yang amat didamba tersebut?
Jawaban yang paling tepat akan diperoleh dengan merujuk kepada Al-Qur’an, terlebih Allah Swt. telah menerangkannya pada Qs. Al-Qadr ayat 1-5, yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.”
Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur’an menerangkan, kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
Pertama, penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.
Kedua, kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Qur’an, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih.
Ketiga, sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi.
Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul menganjurkan sekaligus mempraktikkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Demikian kerasnya daya upaya yang dikerahkan kaum muslimin menghidupkan malam-malam Ramadhan, lantas apakah manfaat yang akan diraihnya dari Lailatul Qadar itu?
Quraish Shihab menegaskan, apabila jiwa telah siap, kesadaran telah bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa yang mendatang.
Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.
Itu pulalah yang akan menjadi pertanda, apakah kita mendapatkan malam Lailatul Qadar atau tidak. Karena bagi orang yang berhasil meraih keberkahan malam Lailatul Qadar, maka dirinya akan melalui kehidupan yang penuh ketenangan, meski dunia tengah dilanda prahara.
Apa lagi sih yang berharga di dunia yang sementara ini, melainkan ketenangan hati yang dinaungi keberkahan Ilahi. Dan hendaknya kita meraih itu semenjak malam Lailatul Qadar di penghujung Ramadhan ini.
Sayyid Quthb dalam buku Tafsir Fi Zhilalil Qur`an Jilid 12 menyebutkan, kadang-kadang manusia lupa terhadap kadar kemuliaan malam itu, hakikat peristiwanya, dan keagungan perkaranya. Karena itu, sejak manusia tidak lagi mengetahui dan melupakan hal ini, mereka kehilangan karunia Allah yang paling membahagiakan dan paling indah kepada mereka.
Mereka kehilangan kebahagiaan dan kesejahteraan serta keselamatan yang hakiki yang diberikan oleh Islam. Yaitu, keselamatan hati nurani, kesejahteraan keluarga, dan kesejahteraan masyarakat. Apa yang hilang itu tidak dapat digantikan oleh kemajuan materi, peradaban, dan pembangunan.
Tidak ada manusia yang benar-benar tahu karena Allah yang paling berhak menentukan orang yang akan meraih keberkahan malam Lailatul Qadar; entah itu bapak-bapak yang i’tikaf di masjid atau ibu-ibu yang menegakkan qiyamul lail sembari bersiaga mempersiapkan santap sahur.
Dan yang jelas, kapan pun malam mulia itu datang, hendaknya ia menghampiri kita yang tengah beribadah, bermunajat kepada Tuhan.
KOMENTAR ANDA