Ramadhan adalah bulan cinta, karena hidangan utamanya ialah cinta Ilahi, di mana seluruh amalan kebaikan diganjar pahala berlipat-ganda/ Net
Ramadhan adalah bulan cinta, karena hidangan utamanya ialah cinta Ilahi, di mana seluruh amalan kebaikan diganjar pahala berlipat-ganda/ Net
KOMENTAR

AKHIRNYA  Ramadhan telah tiba di penghujungnya. Dalam hitungan beberapa hari lagi, dengan berat hati, kita akan mengucapkan selamat jalan padanya, yang berbarengan dengan linangan airmata.

Ya Allah, betapa beratnya hati berpisah dengan bulan suci yang berlimpah cinta ini!

Seiring kepergian Ramadhan, kita akan kehilangan hidangan cinta yang disajikan bulan suci ini: ibadah puasa yang mengendalikan hawa nafsu, tarawih yang menggetarkan sanubari, qiyamul lail yang menghidupkan malam-malam panjang, tadarus yang menyalakan hati, dan lain-lainnya.

Ramadhan adalah bulan cinta, karena hidangan utamanya ialah cinta Ilahi, di mana seluruh amalan kebaikan diganjar pahala berlipat-ganda. Tidak ada bulan yang mampu menandingi kedahsyatan Ramadhan dalam menghadirkan pahala demikian hebatnya. Dan semuanya atas nama cinta, dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, adakah kita menyambut anugerah cinta Ilahi itu dengan cinta juga?

Semoga saja iya! Moga-moga memang begitu adanya.

Karena yang acap kali terjadi, manusia tidak benar-benar tulus membalas cinta dengan cinta. Bahkan pada epik yang pahit, tak jarang pula cinta itu malah dibalas tuba.

Ya, mau bagaimana lagi! Pada diri manusia ada dua jenis bisikan; satu bisikan kebaikan dari malaikat dan satunya lagi bisikan keburukan dari setan. Rumitnya, bisikan yang terakhir ini amatlah lihai dalam tipu muslihat, sebab ia mampu memoles keburukan atau kejahatan yang dibisikkannya itu menjadi semanis madu, sehingga kebaikan malah terlihat buruk atau kejahatan justru terlihat baik. Dan aktor utamanya adalah setan yang terkutuk.

Kembali kepada pembahasan cinta. Dan ternyata, dalam hidangan cinta selama Ramadhan itu banyak juga orang yang berjatuhan. Misalnya, di sepuluh terakhir Ramadhan ini, ketika peluang meraup pahala luar biasa makin terbuka lebar, mestinya semangat beribadah lagi di puncak-puncaknya mencapai level peak performance.  

Nyatanya, sebagian dari kita justru telah mendahului takdir. Apa maksudnya? Lebaran masih belum tiba, tetapi kesibukan menyambutnya telah mengalahkan saripati dari ibadah Ramadhan.

Tak jarang pertengkaran mulai menggema di rumah tangga, masalahnya pun macam-macam: pakaian baru, makanan dan minuman, tetek-bengek kebutuhan lebaran, uang THR, dan lain-lain.

Sehingga kita mengerahkan daya upaya untuk meraih kekuatan keuangan demi meriahnya lebaran. Malah ada yang tak sanggup lagi berpuasa, karena harus lebih keras lagi bekerja banting tulang demi hari raya yang gegap gempita, sementara dalam ibadah Ramadhan itu telah berguguran.

Memang demikian yang sering terjadi, kita acap kali menyakiti pihak yang demikian tulus mencintai diri kita. Dan dalam episode Ramadhan ini, amat disayangkan kalau yang kita khianati itu justru cinta suci Ilahi Rabbi.

Ketika Allah menghadirkan cinta yang tiada terhingga di bulan suci, mengapa kita mengabaikannya, melupakannya atau malah menjadikan dunia lebih penting, mengutamakan gengsi daripada cinta Ilahi.

Kalau demikian yang terjadi, maka kita termasuk yang berjatuhan di jalan cinta. Sungguh amat disayangkan!

Lantas, bagaimana sih Nabi Muhammad meraup limpahan cinta Ilahi di penghujung Ramadhan? Berikut ini salah satu hadis yang menceritakannya:

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Terjemah Lengkap Bulughul Maram menyebutkan, Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw. jika memasuki sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, beliau mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya."

Sebaiknya kita tergugah dengan petikan kenangan indah dari Aisyah ini. Betapa Nabi Muhammad tidak sendirian saja menyantap hidangan cinta di penghujung Ramadhan. Beliau mengencangkan sarungnya sebagai bentuk giatnya beribadah. Beliau hidupkan malam-malamnya dengan mengurangi tidur dan memperbanyak munajat.

Akan tetapi Nabi Muhammad juga membangunkan istri tercinta, agar turut serta menyerap energi cinta di sepuluh terakhir bulan suci ini. Sehingga cinta suami istri itu kian berkekalan, ketika ada cinta Ilahi yang memperkokohnya.

Sebetulnya, bisa saja sih, dan amat memungkinkan, kalau Nabi Muhammad meminta kepada Allah dijadikan raja diraja yang kaya raya sedunia. Akan tetapi beliau tidak meminta itu, Rasul tidak memedulikan kemegahan dunia. Nabi Muhammad malah meminta cukup dijadikan sebagai habibullah atau kekasih Allah.

Secara taktikal, betapa cerdiknya pemohonan Nabi Muhammad ini. Beliau meminta dijadikan kekasih yang mendapatkan limpahan cinta Ilahi. Apabila telah dicintai, pinta apa sih yang tidak akan diberikan-Nya? Bukankah kita mampu memberikan dan melakukan apa saja atas nama cinta dan kepada orang yang dicintai? Demikianlah pentingnya bagi kita memahami cinta Ilahi, yang mana Ramadhan merupakan momentum terhebatnya.

Tapi, kapankah cinta itu menghadirkan penyesalan yang menyakitkan?

Kapan lagi kalau bukan setelah dia pergi.

Pastinya Ramadhan akan meninggalkan kita, bulan cinta ini akan berlalu bersama takdirnya. Setelah itu, barulah kita menyadari betapa besarnya anugerah cinta Ramadhan yang telah kita sia-siakan.

Dan penyesalan itu akan semakin perih, tatkala Tuhan memutuskan sebetulnya ini merupakan Ramadhan terakhir kita.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur