ADA yang berpendapat amatlah rumit mencerna masalah di Palestina, karena begitu beragam kepentingan internasional yang bermain, begitu banyak tangan yang turut campur, begitu lamanya persoalan ini berlarut-larut dan begitu mengerikan kezaliman yang dipentaskan.
Sebetulnya, apabila mau, bisa sih dibuat terlihat agak sederhana, akar masalah di Palestina begini analoginya kira-kira: sekiranya kita memiliki rumah berikut tanahnya bahkan telah ditempati sejak masa leluhur. Lalu tiba-tiba datang orang-orang lain merampas dan menghuni rumah kita, bahkan kemudian malah kita yang diusir dari rumah sendiri atas tuduhan penghuni ilegal. Kira-kira apa perasaan kita?
Nah, begitulah kira-kira gambaran masalah di Palestina, mereka yang telah menampati bumi suci itu sejak nenek moyangnya tiba-tiba diusir, tatkala datang orang-orang Yahudi yang merampas tanah Palestina lalu mendirikan negara Israel di atasnya.
Sejak itu pula luar biasa banyaknya penduduk Palestina yang diaspora, mengungsi ke berbagai negara di dunia, sebagian kecil yang bertahan mesti menanggung lara, atas perlakuan diskriminatif, penindasan, serangan bersenjata hingga hantaman roket atau rudal.
Kini bumi Palestina kembali membara, dan hampir 200 nyawa melayang, serta kekejaman Israel juga menelan korban 58 di antaranya adalah anak-anak. Selain menatap pilu ke Gaza, mata dunia juga terpana melihat kemarahan Indonesia. Pada masa damai saja, rakyat Indonesia terus mengalirkan bantuan, apalagi ketika serbuan brutal Israel kini menelan banyak korban tak bersalah.
Kita patut memuji sikap tegas negara Indonesia yang menolak hubungan diplomatik dengan Israel. Artinya, Indonesia tidak mengakui secara resmi Israel sebagai negara. Mengapa?
Ini persoalannya bukan saja kuatnya keberpihakan rakyat Indonesia, yang merupakan muslimin terbesar di dunia, melainkan kebrutalan Israel bertentangan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.”
Jelas sekali Israel amat berkepentingan membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, selain Indonesia merupakan pangsa pasar yang amat prospektif bagi ekonomi, juga pengakuan resmi Indonesia sebagai muslim terbesar jumlahnya di bumi ini akan menaikkan citra Israel di mata dunia. Akan tetapi berbagai lobi tingkat tinggi Israel ditolak, dimentahkan bahkan dilawan oleh rakyat Indonesia itu sendiri.
M. Riza Sihbudi dalam buku Indonesia Timur Tengah; Masalah dan Prospek menyebutkan, sementara itu, di tingkat masyarakat, terutama di kalangan mayoritas kaum muslim, pada umumnya masih lebih kuat arus yang menolak pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel. Alasan mereka, selama Israel masih belum bersedia melepaskan penjajahannya atas semua wilayah Arab --termasuk kota suci Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Madsjid Al-Aqsha-- yang didudukinya sejak 1967, maka tidak seharusnya pemerintah kita membuka hubungan resmi dengan negara Yahudi-Zionis itu.
Sikap tegas Indonesia ini patut diancungi jempol, mengingat sejumlah negara Arab malah melunak dan mengakui Israel sebagai negara dengan menjalin hubungan diplomatik. Uniknya dalam konflik teranyar yang menelan begitu banyak korban, Indonesia termasuk negara yang gagah berteriak mengecam invasi Israel, sementara kebanyakan negara Arab tenang-tenang saja.
Alhamdulillah, hingga detik ini Indonesia tetap istikamah dengan prinsip antipenjajahan, sehingga tidak mengakui negara Israel dengan menolak hubungan diplomatik resmi.
Oleh sebab itu, dunia internasional perlu memahami dan menghormati sikap rakyat Indonesia yang menunjukkan kecintaan terhadap Palestina, sebab mereka dijajah dan penjajahan itu tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kemerdekaan.
Indonesia berada dalam posisi mengakui negara Palestina dan mendukung penuh kemerdekaannya. Dan Indonesia terlibat dalam berbagai aksi damai, semisal penggalangan dana bantuan, pengiriman tenaga medis, mendirikan rumah sakit hingga pasukan penjaga perdamaian.
Dahulunya Palestina itu damai-damai saja, dan berbagai penduduk yang berlainan agama hidup berdampingan. Maka Perang Dunia yang merubah peta politik dunia, seiring dengan runtuhnya kejayaan Turki Usmani, maka bumi Palestina pun diperebutkan. Kaum Yahudi memainkan lobi tingkat tinggi dan berhasil menekan Inggris untuk menyerahkan Palestina.
Yusuf Qardhawi dalam buku Fiqih Jihad menerangkan, pada tanggal 2 November 1917, dideklarasikan Perjanjian Balfour, yang merupakan surat dari Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur James Balfour kepada Zionis, berisi perintah dan dukungan kepada zionis untuk menjadikan tanah Palestina sebagai rumah dan tanah air bagi bangsa Yahudi. Setelah Inggris masuk ke Jerusalem (Al-Quds) dan memiliki mandat atas Palestina, zionis menjadi semakin kuat dengan mengorganisasi sejumlah eksodus massal warganya ke Palestina dan mendirikan pelbagai koloni, komunitas dan perkampungan Yahudi.
Dan dunia tesentak ketika tanggal 14 Mei 1948 tiba-tiba orang-orang Yahudi mendirikan negara Israel di bumi Palestina. Selepas menghadiahkan bumi Palestina kepada orang-orang Yahudi, Inggris pun lepas tangan membiarkan bumi para nabi itu terus bergolak dan berdarah-darah.
Rakyat Indonesia bukanlah bangsa Arab, tetapi kok dukungan terhadap Palestina amat menakjubkan? Tidak ada hubungan darah apapun, tetapi mengapa Indonesia memandang rakyat Palestina sebagai saudara?
Dari sejarah kelam yang menjadi latar belakang lahirnya Israel, dan kekejaman yang ditebarnya, siapapun hendaknya memahami psikologis bangsa Indonesia.
Karena Palestina bukan persoalan suku bangsa, melainkan keadilan yang mesti ditegakkan, hak asasi manusia harus dihormati. Tidak boleh Israel mengerahkan kekuatan paksa atau aksi militer menggusur rumah-rumah orang Palestina dan mengusir mereka dari tanah leluhurnya, apalagi membunuhi mereka.
Bagi rakyat Indonesia, mencintai Palestina adalah bukti cinta terhadap hak asasi manusia, bukti cinta terhadap keadilan, bukti cinta terhadap kemerdekaan.
KOMENTAR ANDA