Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

RAMADHAN telah berlalu. Banyak dari kita merasa sedih ditinggalkan oleh Ramadhan. Karena ternyata baru terasa betapa menenangkan dan mengasyikkannya memenuhi hari-hari kita dengan dzikir, tilawah quran, mengkaji tafsir, dan i'tikaf di masjid. Semua itu kita lakukan dengan penuh khusyuk selama bulan puasa.

Kini Ramadhan telah usai. Dan sejatinya, perjuangan kita baru dimulai. Perjuangan untuk meneruskan ibadah yang kita maksimalkan selama Ramadhan. Perjuangan untuk senantiasa menjernihkan hati dari amarah dan prasangka meski telah terpisah dari Ramadhan. Perjuangan untuk terus mendekat dan mendekat lagi kepada takwa.

Sebelas bulan ke depan adalah pembuktian. Apakah Ramadhan hanya sekadar Ramadhan, atau Ramadhan benar-benar telah 'me-Ramadhan-kan' hati kita. Memancangkan tiang yang kokoh di dalam agar semangat ibadah Ramadhan tak mengendur hingga hari-hari berikutnya.

Dan 'gempuran' datang silih-berganti.

Belum juga Idul Fitri berakhir, Alquran tak pernah tersentuh. Tergantikan oleh jadwal silaturahim ke keluarga besar dan sahabat. Salat sunnah tidak ditunaikan di tengah keramaian canda tawa bersama handai taulan. Dzikir pagi dan dzikir sore? Berganti kesibukan mengunggah video lebaran ke media sosial.

Membuka media sosial, lidah mulai mengomentari banyak hal. Mulai dari tubuh seseorang yang lebih berisi, kisah percintaan dan rumah tangga orang lain, hingga usaha orang lain.

Lima hari setelah Idul Fitri, banyak dari kita sudah kembali ke rutinitas pekerjaan. WfO atau WFH. Ditemani kopi dan camilan. Puasa Syawal, nanti-nantilah. Sibuk dari pagi hingga malam. Shalat wajib ala kadarnya, kadang diburu jadwal rapat yang ketat.

Kita kembali ke kehidupan sebelum Ramadhan tanpa menyisakan sedikit pun jejak ibadah Ramadhan. Padahal tak seorang pun tahu apakah puasa Ramadhan kita diterima oleh Allah Swt. Dan kita bisa memulai perjuangan kita di bulan Syawal.

Sesungguhnya perjuangan kita baru dimulai... untuk menahan hawa nafsu yang tak henti menggoda kita melakukan kesia-siaan dan keburukan juga untuk menahan hawa nafsu yang kerap mengguyurkan amarah ke dalam dada. Juga untuk memelihara keinginan kita mendekat pada Sang Khalik, agar kita selalu dekat kepada segala amal saleh yang tak absen kita lakukan selama 30 hari kemarin.

Perjuangan kita untuk 11 bulan mendatang yang membutuhkan sikap istiqamah dan keteguhan niat yang kuat. Menjaga cahaya Ramadhan selalu terpancar dalam keseharian kita.

Di luar perjuangan pribadi kita, ada juga perjuangan yang membutuhkan kebersamaan segenap umat manusia di dunia: perdamaian di bumi Palestina.

Ketika kita bercengkerama bersama keluarga, menyambung silaturahim, juga bercanda tawa selepas menyantap berbagai sajian khas lebaran, di Palestina, masyarakat harus bertahan hidup di tengah gempuran roket dan bom yang meledak di sana-sini.

Gaza tercabik lagi. Dan mencabik hati segenap umat manusia. Penyerangan terhadap masyarakat sipil tentulah perilaku yang jauh dari kedaulatan hak asasi manusia.

Kita bisa membantu dengan berbagai cara. Ada yang datang langsung ke Palestina, ada yang menyumbang materi untuk membeli berbagai kebutuhan saudara-saudara di Palestina, ada yang gencar menyuarakan suara di berbagai media sosial, ada yang tak putus mendoakan kebebasan Palestina di setiap penghujung salat.

Dan semua dilakukan di tengah pandemi yang belum juga kunjung usai. Subhanallah.

Setiap kita adalah pejuang dalam kisah kehidupan dunianya masing-masing. Semoga Allah Swt. selalu meridhai lelah, air mata, dan konsistensi kita menaklukkan kekhilafan diri.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur