SEJATINYA, tidak ada yang manusia ketahui tentang masa depan, entah itu dukun, paranormal atau cenayang sekalipun. Masa depan itu rahasia Tuhan semata dan tiada yang mampu menangkapnya secara utuh.
Pengetahuan kita itu hanyalah berkisar takdir, nasib dapat diketahui manusia sesudah terjadi dan itu pula yang disebut takdir. Kita tak punya kuasa pula menolak takdir, apalagi merubahnya, meski terkadang manusia sering kecewa bahkan marah dengan keputusan takdir itu.
Pernahkah kita mengira ketetapan takdir tidak adil? Apa kita merasakan kecewa dengan keputusan takdir itu? Apapun jawabannya, baiknya disimak dulu kisah berikut ini:
Episode 1#:
Latifa (nama rekaan) dirundung kecewa berbilang tahun lamanya. Hubungannya dengan lelaki tercinta kandas, karena pria itu dijodohkan oleh orang tuanya. Saat berurai airmata dalam perpisahan, lelaki itu bersumpah hanya mencintai Latifa seorang. Akan tetapi airmata tidak dapat merubah apapun, kisah cinta Latifa pun kandas.
Meski pun telah dikaruniai 3 anak dari lelaki saleh, kekecewaan Latifa tak kunjung pupus. Dia nelangsa mengetahui pria terkasih tengah menjalani takdir kejayaan di Inggris, negara yang dulu pernah dijanjikan padanya semasa masih dimabuk cinta. Sedangkan suami Latifa hanyalah karyawan biasa yang babak belur dihantam ganasnya jalanan Jakarta.
Suatu ketika barulah mata batin Latifa terbuka. Dia sempat prihatin pernikahan pria itu berantakan di tengah jalan, tetapi hingga tiga kali dia menikah selalu saja berakhir dengan kehancuran. Lambat laun tersibak sebuah rahasia, pria itu mengidap kelainan jiwa, gemar melakukan kekerasan fisik, sehingga tak ada perempuan yang tahan babak belur di tangannya.
Seketika Latifa bertaubat, penyesalannya atas takdir Tuhan demikian lama kini telah terjawab lunas. Takdir Tuhan itu baik, bahkan menyelamatkan dirinya dari monster yang mengerikan. Kini ia pun mensyukuri anugerah keluarga yang sakinah, yang merupakan takdir terbaik dari Tuhan.
Kekecewaannya belasan tahun ternyata disebabkan oleh minimnya pemahaman tentang takdir, ya memang begitulah, pengetahuan manusia teramat masih minim dibanding rahasia Ilahi.
Episode 2#:
“Caranya yang tidak enak,” ujar lelaki itu geram. Pasalnya, kursi dan meja kerjanya di kantor lenyap begitu saja, begitu pula berkas-berkas miliknya. Tugas-tugasnya telah dikerjakan oleh rekan yang lain. Pendek kata, dia bukan hanya dipecat, melainkan diusir. Jangankan uang pesangon, sepatah kata perpisahan pun tiada. Dia merasa terhina.
Dari semula marah kepada bos, kini kemarahannya malah beralih pada takdir. Mengapa nasib demikian kejam yang menimpa dirinya? Bagaimana makan anak-anak dan istrinya dalam takdir sedramatis ini?
Begitulah kalau orang lagi marah, apa saja dapat disalahkannya! Berhati-hatilah dengan kemarahan!
Mau tidak mau lelaki itu pun berjuang banting tulang, serabutan kerja kesana-kemari dengan hasil tidak seberapa. Bisa makan saja sudah syukur! Lambat laun kondisi makin berat, peluang kerja kian sulit.
Lalu dengan datangnya Covid-19 semakin memperparah kemalangannya. Sampai-sampai lelaki bergelar sarjana itu berencana jualan es dawet keliling atau menjadi tukang parkir di minimarket dekat rumah, tetapi keluarganya menolak keras.
Namun ustad mengatakan padanya takdir tidak pernah kejam, karena itu merupakan keputusan Allah. Tidak ada ketentuan Allah yang tidak baik. Amat berat bagi pria itu mencernanya ketika dirinya sekeluarga sedang dirundung lapar.
Kemudian seorang sahabat lama tiba-tiba menghubungi, dan mengajak ikut serta peluang bisnis yang paling aneh, cukup bermain di ponsel saja. Dia tidak yakin, tapi tidak ada salahnya mencoba.
Singkat cerita, jalan takdir itu melaju dengan keindahannya, dan lelaki itu kini lebih banyak bersyukur. Andai dulu tidak dipecat, mana mungkin dia dapat menikmati hidup yang indah ini, lebih banyak di rumah tetapi penghasilan jauh lebih besar. Kini dirinya lebih sering tersenyum.
Memang butuh kematangan jiwa dalam berbaik sangka, meski pun itu husnudzan kepada takdir Allah sekalipun. Proses mencerna takdir adalah perjalanan batin yang berkabut, apalagi bagi yang minim perbekalan iman. Namun hanya dengan berbaik sangka kita memiliki energi untuk menyibak segala keindahan takdir itu.
Muhammad Asroruddin Al Jumhuri pada buku Belajar Aqidah Akhlak: Sebuah Ulasan Ringkas Tentang Asas Tauhid Dan Akhlak Islamiyah menyebutkan, husnudzan secara bahasa berarti berbaik sangka. Lawan katanya adalah su’udzan yang berarti berburuk sangka atau apriori, skeptis, dan sebagainya. Husnudzan adalah sikap dan cara pandang seseorang yang membuatnya melihat sesuatu secara positif, seorang yang memiliki sikap husnudzan akan mempertimbangkan sesuatu dengan pikiran jernih.
Mengapa penting bagi kita berbaik sangka?
Karena husnudzan itu merupakan amalan batin yang baik, maka secara psikologis akan berdampak positif bagi mental, utamanya dalam menghadapi masa-masa terpuruk.
Kita tidak dapat memungkiri, justru cobaan itu diciptakan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang mengaku beriman. Tentunya takdir tidaklah kejam, melainkan kekuatan kita dalam berprasangka baik yang perlu diperbaiki. Husnudzan akan membantu menenangkan diri yang tengah gundah-gulana. Dan ketenangan itu pula yang membentangkan jalan kebenaran meraih kegemilangan.
Betapa banyak kekecewaan yang kian mengental tatkala pandemi Covid-19 mengepung umat manusia, dan di antaranya berujung pada kekecewaan terhadap takdir, terlebih bagi yang usahanya gulung tikar, cukup lama jadi pengangguran, keluarga tengah kelaparan dan sebagainya.
Akan tetapi rajin-rajinlah melihat kepada mereka yang teguh berhusnudzan kepada Tuhan. Cermatlah bagaimana berbaik sangka itu yang menjayakan mereka. Dari itu teruslah bekerja keras serta bekerja cerdas, sehingga mampu meraih berkah di balik musibah, mencapai kejayaan di tengah himpitan kesulitan.
KOMENTAR ANDA