“Mereka (istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu (suami) adalah pakaian bagi mereka.”
Tentulah terjemahan ayat ke 187 dari surah Al-Baqarah ini mengandung makna kiasan. Apa sih kegunaan pakaian? Secara umum untuk melindungi tubuh dari panas atau dingin, menjaga kebersihan, dan lain-lain.
Namun terkait ayat di atas, fungsi pakaian itu meliputi menutupi aib, menjaga kehormatan bahkan membaguskan penampilan. Begitulah kira-kira peran suami atau istri selaku pakaian bagi pasangannya.
Apa jadinya kalau tidak berpakaian? Maka aurat kita akan menjadi tontonan sehingga tersingkaplah aib diri, akibatnya kehormatan kita akan ternoda dalam kehidupan sosial.
Bagaimana kalau kita memiliki dan mengenakan pakaian (dalam makna suami dan istri yang baik)? Maka penampilan kita akan cemerlang, meningkatkan penghormatan publik dan menaikkan level rasa percaya diri juga.
Dengan cukup rapi Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dalam buku Kado Pernikahan merangkum penafsiran sejumlah ulama terkait makna libas atau pakaian pada ayat ini:
Ath-Thabari menafsirkan bahwa suami harus menempatkan pasangannya bagai pakaian, yaitu, sebagai waktu untuk beristirahat atau bernaung. Begitu juga istri menjadi pakaian bagi suami dan ada kecondongan suami kepadanya. Masing-masing menjadi pakaian atau tempat berlindung bagi yang lain.
Muhammad Quthb menafsirkan bahwa hubungan antara jasad dengan jiwa sangatlah erat. Keduanya akan bersatu dan menghendaki keutuhan jalinan itu, bagaikan pakaian dan pemakainya. Keduanya bagaikan tabir yang masing-masing saling menutupi dan menjaga, menjadi pelindung ruh dan jiwa, saling menjaga kehormatan, dan keselamatan dari gangguan orang lain.
Maka kita akan amat beruntung, tatakala memiliki suami atau istri yang pandai menjalankan peran sebagai pakaian yang baik; yakni menutupi aib, membaguskan penampilan dan memelihara kehormatan.
Boleh jadi kita bersanding dengan suami atau istri yang kaya raya, populer, penceramah kondang, luas pula ilmu agamanya, akan tetapi akan merugilah kita kalau dia tidak mampu menjalankan peran sebagai libas (pakaian).
Dan kebetulan pula seorang pesohor di Tanah Air ini menyibak misteri dari kehidupan sosok almarhum suaminya, yang ternyata pernah dua kali berpoligami, yang salah satunya merupakan dengan artis.
Ternyata, di negeri tercinta ini pihak yang kontra (atau memandang negatif) poligami jauh lebih besar jumlahnya. Dan kontan saja, poligami yang disibak oleh istri almarhum itu pun menjadi gosip nasional. Kira-kira apakah arwah suaminya tenang di alam sana ya?
Kita tidak berada pada level membahas poligami, akan tetapi kenyataannya poligami itu lebih hangat dijadikan santapan gosip. Artinya, ucapan sang istri telah menyajikan secara percuma bahan gosip bagi publik. Celakanya, salah seorang artis berhijab malah digosipkan publik sebagai istri poligami almarhum penceramah itu.
Ya, begitulah bencana dari lidah yang tak bertulang ini.
Apabila kabar tentang poligami almarhum suami bertujuan menunjukkan kesabaran dirinya sebagai istri tua, maka dengan mendiamkan itu bukan saja membukti kesabaran sejati, malah menangkal dosa publik dari buruknya pergunjingan. Atau bila dimaksudkan dengan tujuan lain, akan lebih baik dilakukan dengan tetap di jalan yang tenang tanpa membesar- besarkan di ranah publik.
Sudahlah! Mau bagaimana lagi? Kan almarhum telah tiada, tidak ada kesempatan lagi baginya memperbaiki kekhilafan, karena tidak ada orang mati balik lagi hidup ke muka bumi ini.
Sebaiknya kita menghormati orang yang telah meninggal dunia, karena yang tersisa baginya hanyalah perhitungan amalan di hadapan Tuhan. Kalau memang penting amat membicarakan sosok suami atau istri yang telah tiada, maka bicarakanlah hal-hal positif dirinya yang akan menjadi teladan bagi masyarakat.
Ingat ya membahas hal yang akan berdampak positif!
Karena perbuatan baiknya belum tentu akan dipandang positif oleh masyarakat, kan persepsi publik tidak dapat diseragamkan. Di masa lalu, nenek-nenek kita dengan bangganya mencarikan calon istri agar suaminya sukses berpoligami. Lain halnya dengan sekarang, poligami malah dijadikan bahan buat menjatuhkan kredibilitas.
Gosip itu memang memabukkan, tak jarang begitu ada perkumpulan, maka pergunjingan itupun melebar kemana-mana. Jika bahan gosip telah habis, tak jarang giliran aib psangan yang dikupas, diulas dan didramatisir.
Bahayanya, di era digital ini dunia pergosipan malah kian perkasa dan bukan lagi di level komunitas kecil antar tetangga, tetapi dapat meledak ke tingkat nasional dengan teramat cepat.
Bagian dari akhlak mulia itu adalah tidak membicarakan aib orang lain, apalagi dia sudah meninggal dunia. Terlebih lagi terhadap pasangan, maka kewajiban kita menjalankan peran sebagai pakaian, yaitu menutupi aibnya dan menjaga kehormatannya.
KOMENTAR ANDA