SERANGAN terbaru yang dilancarkan Israel ke wilayah kantung Gaza pertengahan Mei lalu menyisakan luka dan ketakutan yang semakin dalam pada warga Palestina di sana.
Seorang aktivis perempuan yang tinggal di Gaza bernama Afaf Al-Najjar menceritakan soal situasi mencekam yang dia alami saat Israel melemparkan serangan ke wilayah Gaza.
Dalam program webinar bertajuk "Menelisik Hubungan Israel-Palestina: Eskalasi Konflik di Levant Region" yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bekerjasama dengan sejumlah lembaga lainnya pada Rabu malam (26/5), gadis muda tersebut menjelaskan bahwa serangan pertama Israel meletus di Gaza pada 10 Mei lalu. Kala itu, umat muslim di seluruh dunia masih menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, tidak terkecuali warga muslim di Gaza.
Serangan tersebut membuat ramadhan warga Gaza tidak lepas dari kegelisahan.
"Kami takut bisa meninggal kapanpun," ujarnya.
Al-Najjar menceritakan soal dirinya yang tinggal di sebuah rumah besar bersama dengan keluarga besarnya, termasuk orangtua, kakek-nenek serta saudaranya.
"Setiap kali ada hantaman bom, kami bergegas berkumpul bersama di satu ruangan di rumah kami. Kami beranggapan bahwa meskipun kami meninggal, paling tidak kami meninggal bersama-sama," ucapnya.
"Kondisi ini membuat kami ketakutan akan kehilangan satu sama lain," tambah Al-Najjar.
Dia juga menjelaskan bahwa Israel seakan menutup mata pada target penyerangannya.
"Mereka (Israel) membunuh orang-orang tidak berdosa, menyerang bank, sekolah, restauran, kafe, universitas dan bahkan infrastruktur umum," ujarnya.
Hal itu menyebabkan lebih dari 200 warga Palestina meninggal dunia. Sekitar 66 di antaranya adalah anak-anak tidak berdosa.
"Pernah suatu waktu, saya sedang melakukan wawancara secara live di kamar saya ketika tiba-tiba ibu saya masuk dan mengatakan bahwa saya harus segera berkemas untuk pergi dari rumah karena ada kabar bahwa Israel akan segera menyerang wilayah kami. Jika tidak pergi, kami bisa terkena serangan," ujarnya.
"Saya segera berkemas apa yang bisa saya bawa ke dalam tas saya. Sebelum pergi saya sejenak menatap kamar saya, tempat di mana setiap sudutnya penuh dengan barang pribadi saya, kenangan saya tersimpan di sana," sambung Al-Najja.
Dengan sedih dia pun meninggalkan kamar dan rumahnya bersama seluruh keluarganya.
"Kami berlari di jalanan sejauh yang kami bisa. Berlari dalam arti sesungguhnya, agar bisa menyelamatkan diri sebelum serangan Isarel datang," jelasnya.
Dia dan keluarganya lalu melarikan diri ke rumah pamannya di kota lain yang dirasa masih aman dari serangan.
"Banyak teman-teman saya yang rumahnya hancur, mereka tidak lagi punya tempat tinggal akibat agresi terbaru Israel ini," tandasnya.
KOMENTAR ANDA