JITU sekali strategi ustaz itu, dahulu kala ketika ramai-ramai orang sekampung menjual tanah kepada developer, lelaki itu teguh mempertahankan sebidang tanah warisan orangtuanya, yang kini terhampar tepat di depan perumahan elit. Dia pun mendirikan pesantren sederhana yang kondisinya kala itu memprihatinkan, dengan jumlah santri hanya hitungan jari.
Mengapa ia tidak tergoda dahulu kala dengan tumpukan uang?
Dia beralasan nanti keberadaan perumahan elit itu akan memberi dampak positif bagi pesantrennya.
Puluhan tahun kemudian terbuktilah strategi itu. Kini pesantrennya maju pesat berkat sokongan dana bantuan warga perumahan elit. Pesantrennya bukan hanya megah dalam pembangunan, tetapi juga modern dalam pendidikan karena penghuni perumahan elit itu memberikan dampak positif di bidang manajemen pula.
Tidak patut pula kita menyalahkan strategi ini, karena sang ustaz telah menyadari perlunya lingkungan yang positif, yang akan mempengaruhi kemajuan pesantrennya, baik itu dari segi pembangunan maupun kualitas pendidikannya.
Kisahnya berbanding terbalik tatkala disusuri sejarah beberapa pesantren termasyhur di Jawa, yang uniknya para pendiri pesantren membangun sekolah agamanya justru di lingkungan negatif, yang masyarakatnya jauh dari nilai-nilai agama, yang gemar maksiat dan juga suka melakukan kejahatan.
Tidak terhitung kalinya pihak pesantren, bahkan kyai dan keluarganya diganggu atau bahkan dianiaya oleh warga yang tidak menyukainya, yang memang berkarakter tidak baik. Akan tetapi kyai tetap gigih mempertahankan pesantrennya di tempat yang penuh ujian iman itu. Kyai tidak pernah pindah, apalagi menyerah dengan suasana masyarakat di lingkungannya yang buruk.
Mengapa demikian?
Kyai dan keluarganya beralasan, Rasulullah bertahan dengan akidah yang benar meski pun masyarakat Mekkah ketika itu amat jahiliyah, dengan berbagai kemaksiatan yang menyedihkan. Itu pula yang membuat kyai dan keluarganya yakin bahwa mereka tidak akan terpengaruh oleh lingkungan yang buruk, dan mudah-mudahan dapat menularkan pengaruh yang baik.
Puluhan tahun kemudian, pesantren itu pun berjaya, terkenal dan menyulap lingkungan yang dahulunya negatif menjadi lebih baik, lebih Islami dan lebih berkarakter. Kunci keberhasilannya adalah imunitas diri pihak pesantren dari pengaruh buruk dan kemampuan memberi pengaruh positif.
Nah, terkait dengan judul tulisan ini, gampang ditebak kalau kisah kedua yang akan lebih banyak diulas, tetapi ruang lingkupnya adalah keluarga bukan lembaga pendidikan.
Memang kita berupaya keras mencarikan lingkungan terbaik bagi keluarga, utamanya bagi anak-anak. Meski kita tidak dapat memungkiri bahwa kita ini hidup di dunia, bukan di surga yang sempurna. Dari itulah, dimana pun berada tentu ada dampak negatif lingkungan. Syukurnya kita punya teladan dalam hal ini, yaitu Nabi Muhammad dan keluarganya.
Mentalitas Rasulullah maupun para istri beliau tidak perlu diragukan lagi, dimana karakter Islami itu memang bersemayam kokoh di sanubari mereka. Namun bagaimana dengan anak-anak yang masih kecil?
Ternyata, mereka pun mampu menunjukkan mentalitas yang menakjubkan. Sejak usia belia anak-anak Rasulullah itu mampu mencerna realitas lingkungan.
Abul Hasan Al-Ali Hasani An-Nadwi dalam buku Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad Saw. menceritakan, tiba-tiba, datanglah Uqbah bin Abu Mu'ith dengan membawa isi perut unta, lalu ia lemparkan ke punggung Rasulullah saw. yang sedang sujud. Beliau tidak mengangkat kepalanya hingga datang Fatimah dan menyingkirkan kotoran tersebut dari punggung ayahnya.
Sebetulnya masih ada lelaki muslim lainnya yang melihat kejadian menyedihkan itu, tetapi dia tidak berdaya untuk membela Rasulullah yang sedang shalat. Akan tetapi datanglah Fatimah yang bukan hanya membersihkan kotoran unta, tetapi juga menghardik pelakunya dan mendoakan petaka bagi mereka. Ketika itu Fatimah masih gadis kecil tetapi paham kebatilan, selain menolak, ia juga bernyali melawannya. Subhanallah!
Mentalitas macam inilah yang perlu menjadi karakter keluarga muslim di mana pun berada, karena dampak negatif lingkungan akan ada saja dimana pun kita berada. Keluarga kita perlu memiliki imunitas atau daya tahan dari dampak negatif, kemampuan menolaknya, dan kemudian sebaiknya sanggup meluruskannya.
Bagaimana keluarga kita?
Kunci utamanya adalah kejujuran dan jangan pernah memaksakan diri. Jujurlah mengukur level imunitas diri dan keluarga dari dampak negatif lingkungan. Apakah anak-anak tidak akan ikut menjadi bandel, atau justru mereka akan menjadi korban bullying? Apakah istri tidak akan ikut bergosip, atau malah tersiksa dijadikan bahan pergunjingan? Apakah suami diyakini punya mental tangguh untuk tidak terpedaya?
Mari kita sama-sama jujur!
Idealnya keluarga kita diharapkan menampilkan karakter keluarga Islami yang memberikan pengaruh positif. Akan tetapi perlu diingat bahwa level kualitas tiap pribadi berbeda-beda. Karenanya perlu dibuat pertimbangan yang matang untuk memberikan bi’ah (lingkungan) bagi keluarga, entah itu lingkungan kerja, lingkungan pergaulan, lingkungan pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan lain sebagainya.
Ada satu contoh yang cukup membuat kita mengelus dada. Sebuah komunitas sosialita menyambut sahabat baru, seseorang berlatar pendidikan agama yang biasa mereka sapa “ustazah”. Mereka senang mendapatkan tausiyah, dan kerap berkonsultasi tentang resep menciptakan keluarga sakinah kepada sahabat baru tersebut.
Tapi lambat lan, justru keluarga ustazah itulah yang mulai dilanda prahara. Penyebabnya adalah biaya belanja rumah tangga yang makin hari makin melejit. Sang suami heran bukan kepalang bahkan jadi berburuk sangka pada istrinya.
Selidik demi selidik, ternyata pergaulan ala sosialita itu membuat sang ustazah jadi tidak percaya diri dengan busana dan aksesoris sederhana yang dia kenakan selama ini. Dia mulai melirik barang branded. Akibatnya mudah ditebak, besar pasak daripada tiang.
KOMENTAR ANDA