KEGADUHAN di medsos ini menyebalkan bagi segelintir pihak, meski barangkali banyak juga yang menyambutnya sebagai bahan bergosip. Na’uzubillahi min zalik!
Ini perihal putra dari seorang da’i kondang yang membicarakan perlakuan buruk ayahnya. Dia mengumbar di media sosial, bahwa sang ayah telah zalim terhadap istri. Sontak saja pengakuan itu disambut bergemuruh oleh warganet.
Lha, tidak ada angin tiada hujan saja publik getol menggosip kehidupan pribadi sang pendakwah populer itu, apalagi kini putra kandungnya yang mengumbar aib di dunia maya. Ya, ibarat menyiramkan bensin ke kobaran api dong!
Mari kita telisik dulu tentang anak sang da’i kondang ini.
Sekalipun kabarnya dia menorehkan prestasi sebagai hafizd Al-Qur’an, akan tetapi mengamalkan kandungan kitab suci juga membutuhkan proses sebagaimana menghafalnya.
Dan di antara ayat yang penting dicermatinya adalah surah An-Nisa ayat 35, yang artinya, “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.”
Dalam Al-Qur’an ditegaskan, apabila terjadi konflik antara suami-istri, maka perlu dihadirkan juru damai dari kedua belah pihak, yang disebut hakam, yaitu orang berilmu yang bijaksana. Sosok hakam inilah yang berperan melakukan mediasi dan menemukan solusi bagi kisruh yang melanda pasangan itu.
Ahmad ibn Mustafa Farrān dalam kitab Tafsir Imam Syafi'i: Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur'an menerangkan, bahwa suami hendaknya mengutus seorang juru damai dari pihak keluarganya, begitu pula dengan istri. Kedua juru damai tersebut diutus atas rekomendasi dan kerelaan pasangan suami istri. Suami istri memberikan wewenang kepada masing-masing juru damai untuk mempertahankan pernikahan atau menceraikan mereka, bila itu yang terbaik.
Kini lebih canggih lagi, tersedia peradilan agama yang menjadi lembaga resmi menyelesaikan konflik suami istri dan masalah rumah tangga lainnya. Karena di peradilan tersedia banyak hakim yang memiliki ilmu yang mumpuni.
Selain itu hakim juga pihak netral sehingga diharapkan lebih bijaksana dalam menyelesaikan persoalan. Sebagaimana asal-usul kata hakim itu juga berakar dari kata hakam, dimana kebijaksanaan menjadi harapan yang tertumpu pada keputusannya.
Bahkan ketika perceraian itu menjadi satu-satunya pilihan, maka peradilan agama adalah tempat yang tepat untuk itu. Jadi, selain adanya hakam dari pihak keluarga, juga tersedia lembaga resmi peradilan agama yang telah menyiapkan deretan hakim yang insya Allah hakam.
Meski lagi tidak ada masalah suami istri, ada baiknya sesekali kita melihat persidangan di peradilan agama itu. Kita akan menyaksikan pintu akan sering ditutup dan pihak-pihak lain diminta keluar ruangan sidang. Adegan yang terkait sidang tertutup macam ini akan berulang kali terjadi, utamanya setiap kali hakim meminta penjelasan yang sifatnya rahasia pribadi atau keluarga.
Mengapa demikian? Karena peradilan agama bukan hanya berupaya keras menjaga keutuhan pernikahan, akan tetapi juga memelihara dengan teramat ketat rahasia suami-istri tersebut agar tidak bocor ke publik. Nah, bagian inilah yang patut kita pahami dan teladani!
Memelihara aib rumah tangga agar tidak bocor ke ranah publik bukan hanya penting dipahami oleh suami atau istri, akan tetapi hendaknya merupakan pemahaman yang sama dan juga dicerna dengan baik oleh anak-anak.
Ketika terjadi konflik suami-istri, bahkan tidak seluruh sanak keluarga perlu terlibat. Al-Qur’an dengan tegas menyebutkan kriteria juru damai, yaitu hakam atau orang yang berilmu lagi bijaksana. Hakam ini bukan hanya punya kapasitas menyelesaikan persoalan tetapi juga memiliki kebijaksanaan dalam membuat keputusan yang adil.
Dari itu, pihak orangtua memberi pemahaman kepada anak-anak bahwa persoalan suami-istri itu wajar. Terkadang api cinta itu juga menyala berkat percikan konflik pasutri.
Hanya saja orangtua juga perlu arif memilah mana persoalan yang masih berada dalam koridor sehat sebagai santapan akal maupun batin anak-anak, dan mana pula konflik yang berbahaya bagi psikologis mereka.
Kalau yang mereka santap itu pertengkaran orangtua yang menjurus kasar apalagi mengandung kekerasan, maka anak-anak akan trauma. Ini tentunya perlu dijaga agar tidak melukai masa kecil mereka yang indah.
Ingatlah! Trauma itu bagaikan banjir luka yang berhulu ke lubuk hati, lama-kelamaan tidak tertanggung juga, lalu bendungan hati anak-anak itu pun jebol dan tumpah ruah ke ranah publik.
Di sini kita dapat memahami mengapa putra da’i kondang itu sampai kelepasan curhat di media sosial. Dia kebingungan juga hendak kemana menumpahkan sesak di dada.
Apapun konflik suami istri, maka anak-anaklah pihak yang paling berat memikul deritanya. Karena mental mereka memang belum siap menanggung beban batin demikian beratnya.
Semoga dengan kejadian ini, putra da’i kondang ini tidak menjadi bahan bully, terlebih lagi dirinya telah meminta maaf. Melontarkan aib ke media sosial memang berbahaya, karena masalah bukannya selesai, sementara kita pun menjadi korban dari netizen yang nyinyir.
Akhirnya, marilah kita teladani kearifan masyarakat Madinah, yang ditarbiyah dengan baik oleh Rasulullah, sehingga mereka tidak gemar bergosip karena memandang persoalan suami-istri merupakan dinamika yang normal, yang perlu dicarikan solusinya yang bijaksana kepada pihak yang hakam.
Jadi, bukan ke media sosial ya!
KOMENTAR ANDA