KOMENTAR

DENGAN semakin mandirinya wanita, maka kemapanan ekonomi pun akhirnya dapat tercapai. Sehingga kian mantaplah tekad wanita-wanita itu, utamanya di dunia belahan barat yang kemudian juga merembet ke dunia timur, untuk hidup sendiri.

Mandiri kok berujung sendiri ya?

Bagi mereka ini pernikahan tidak lagi diperlukan, toh wanita tersebut tidak butuh lagi laki-laki (baca: suami). Toh, terkadang kemapanan ekonomi mereka melebihi kalangan pria. Tanpa ikatan pernikahan kehidupan mereka lebih bebas, sebebas menikmati hasil keringat sendiri. Enak toh!

Demikian pula halnya muslimah di era milenial ini, yang dengan bantuan kecanggihan teknologi serta ditopang oleh wawasan serta pergaulannya yang luas, membuat mereka kian mandiri dan semakin mapan.

Akan tetapi kaum muslimah masih membutuhkan pernikahan, mempunyai suami dan memiliki anak-anak. Kok bisa berbeda ya?

Karena pernikahan bagi muslimah bukan untuk menumpang hidup atau penghidupan, melainkan suatu ibadah yang teramat fitrah bagi diri manusia itu sendiri. Kalau bicara kemapanan, sejak Islam disyiarkan pertama kalinya di muka bumi, para muslimahnya telah menjadi perempuan yang teramat mapan, sebut saja contoh yang gampang, yakni Khadijah, istri Rasulullah.

Dengan menikah itu kita pun memahami ada tujuan mulia yang disediakan Allah, yakni mawaddah wa rahmah. Suatu keindahan dalam bingkai kemuliaan yang tak akan tergapai oleh kemapanan jenis apapun jua.

Akhirnya, virus yang dijuluki Covid-19 itu pun menyerang keluarganya dan yang terkena malah suami tercinta. Aslinya perempuan itu amat tangguh dan juga mandiri. Dengan amat baik dia menghadapi keluhan suaminya hingga mendapatkan perawatan terbaik.

Dengan cekatan pula diurusnya beragam tahapan tes virus Covid-19 untuk anak-anak dan juga dirinya. Segala dimensi kehidupan rumah tangga dipikulnya sendiri, dan berbagai urusan dibereskan dengan cermat. Pekerjaan pun tidak terbengkalai, dengan semangat bergelora ia mengelolanya dengan seksama.

Betapa hebatnya sosok perempuan yang mandiri ini. Akan tetapi apakah dia tidak lagi membutuhkan kahadiran suami?

Selalu ada hikmah di balik musibah, baik itu bagi yang terkena Covid-19 secara langsung ataupun yang terdampak tidak langsung, bahkan begitu pula bagi kita semua.

Apakah kondisi perempuan itu baik-baik saja berkat ketegarannya dan juga senyumannya?

Nun jauh di relung hatinya ada ruang hampa yang hanya dapat diisi dengan kehadiran suami. Jiwa adalah sesuatu yang teramat unik dan juga kompleks. Sesuatu yang tidak kasat mata, tetapi menjadi motor kehidupan seorang insan.

Dalam keadaan terpisah inilah suami-istri dapat memahami tujuan luhur pernikahan yang disematkan oleh agama, agar lelaki dan perempuan saling melengkapi secara lahir batin dengan cara yang halal.

Kemapanan ekonomi, kebebasan mandiri serta kegemilangan itu tidak akan membuaskan batin, jika separuh jiwa itu tidak dilengkapi, yaitu pasangan sejati. Dan setelah terpisah, yang semoga hanya sementara waktu demi penyembuhan itu, mudah-mudahan ada rindu yang membakar, ada energi cinta yang makin menyala.

Agak rumit bagi sebagian kalangan mencerna kebiasaan Nabi Muhammad, di setiap berangkat ke medan perang, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya. Sehingga satu per satu istri beliau secara bergiliran mendapatkan jatah mendampingi Rasulullah berperang.

Ingat, ini bukan pergi piknik lho, melainkan berdiri di samping suami di medan tempur, tempat dimana nyawa menjadi taruhannya. Bagaimana logikanya Rasulullah membawa istri ke tempat demikian berbahaya?

Di sini terlihat, nun jauh di relung hatinya, suami pun merasakan ruang hampa yang hanya dapat diisi oleh istrinya, pasangan sejatinya. Makanya Tuhan menciptakan segala makhluknya berpasangan, termasuk lelaki dan perempuan.

Tentunya Nabi Muhammad sudah punya takaran sendiri dan mempersiapkan dengan matang pengamanan istrinya. Jelas ini bukan tindakan ceroboh! Namun kita pun dapat melihat hikmah lain di baliknya.

Perpisahan itu tidak pernah mudah bagi pasangan suami istri, kendati hanya dalam bilangan hari. Maka dari itulah Nabi Muhammad pun membawa ikut serta istrinya ke medan laga. Siapa sih yang dapat menikmati hidup hanya dengan separuh jiwa?

Bahkan, ketika melepas nafas terakhirnya di dunia ini, Nabi Muhammad berada dalam pelukan istri tercinta, Aisyah. Dia mengakhiri episode kehidupan dunia dalam keadaan jiwa yang lengkap, bersama pasangan yang dicinta.

Sedangkan untuk suami yang terkena Covid-19, istri tidak dapat mendampingi secara langsung. Suami menjalani isolasi, dan dalam kondisi terpisah itu istri terus mengguatkan diri dalam bait-bait doa yang tiada tara panjangnya.

Ada kisah menarik dalam kitab Shahih Muslim:

Jabir bin Abdullah menceritakan bahwa Rasulullah datang berkunjung ke rumah Ummu Saib. Maka Rasul bertanya, “Wahai Ummu Saib, kenapa kamu menggigil begitu?”




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur