Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

DAN betapa terbiasanya kita mendengar janji-janji manusia, meski sebagiannya cukup muluk-muluk atau malah di antaranya diselimuti gombal atau bahkan dusta. Namun itu bukan berarti kita boleh bersikap pesimis terhadap janji.

Karena ternyata Allah pun banyak menebar janji untuk hamba-hamba-Nya. Tentunya janji-janji Ilahiah ini tidak ada yang dusta, segala yang dari Tuhan itu berupa janji kebenaran yang tak akan tertolak oleh siapapun jua.

Selain janji-janji hayatan thayyibah (kehidupan yang baik) di dunia, atau janji Tuhan berupa surga di akhirat kelak, maka ada juga janji Ilahiah itu berupa ujian atau cobaan yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya.

Sebagaimana tertera dalam surah Al-Ankabut ayat 2, yang artinya, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?”

Mau bagaimana lagi kan? Namanya juga janji Allah, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Kita tidak dapat menepisnya, sebab ujian hidup itu memang bagian dari janji kebenaran-Nya yang akan menjumpai setiap hamba-Nya, tanpa terkecuali.

Lagi pula apapun yang diberikan Tuhan itu memiliki nilai kebaikan, begitu pun dengan ujian kehidupan, yakni untuk meningkatkan kualitas keimanan. Anak-anak sekolah saja harus melalui ujian demi ujian untuk naik kelas, apatah lagi kita yang mengaku beriman, tentulah ujian itu mestilah ada.

Maka ujian itu pun menjelma dalam berbagai kejadian-kejadian yang terkesan kurang menyenangkan, seperti kehilangan karir, kemerosotan bisnis, anggota keluarga lagi sakit dan lain-lain.

Sekiranya berani untuk jujur, sebenarnya, kita dapat menghitung betapa jauh lebih banyak masa-masa senang dibanding susah, lebih panjang masa lapang dibanding sempit, lebih banyak masa bahagia dibanding sengsara.

Tetapi, masalahnya, sebagian manusia punya ingatan teramat baik terhadap kejadian buruk, dari itulah masa-masa lapang dan senang itu menjadi seperti sebentar saja, seolah bahagia sekejap mata sedangkan derita sepanjang masa.

Padahal, asalkan ikhlas melalui ujian demi ujian, insyallah kita akan terus naik kelas dalam level keimanan yang lebih berkualitas.

Hanya saja, ujian hidup itu bukan sekadar menjadi masalah pribadi, melainkan jadi urusan sosial masyarakat. Misalnya, ketika suami jatuh sakit, maka akan banyak pihak yang menanyakan kabarnya, berkali-kali malah.

Pertanyaan bertubi-tubi tentang kabar suami yang sakit itu bagian dari kepedulian masyarakat. Makanya pertanyaan macam itu hendaknya direspons dengan lapang dada.

Akan tetapi hidup di dunia belahan timur ini, membuat kita jadi terlatih memperhalus tutur kata. Sebelum diucapkan terlebih dulu ditimbang-timbang, bahkan kalau perlu dikunyah-kunyah. Tujuannya bukan sekadar agar tidak menimbulkan efek yang tak enak bagi perasaan, juga hendaknya perkataan itu membangun nuansa yang positif.

“Bagaimana kabar suamimu?”
 

Tak terhitung banyaknya pertanyaan macam ini, bahkan selagi suami sakit, orang-orang tiada henti menanyakannya. Sang istri menjadi serba salah, mau dijawab masih sakit, khawatirnya akan membuat suasana menjadi negatif. Terlebih sakit masih dipandang publik sebagai keadaan yang tidak mengenakkan.

Supaya terdengar enak, maka acap kali jawabannya pun dipoles,

“Alhamdulillah!”

“Baik!”

Terkadang jawaban ini pun menimbulkan perasaan kurang nyaman, faktanya suami belum sehat, memang belum pulih.

Serba salah juga jadinya hanya demi menjawab pertanyaan singkat itu.

Akan tetapi, ada lho istri yang mampu membangun nuansa positif bagi lingkungan sosialnya, kendati suaminya tengah menghadapi kondisi kesehatan yang cukup berat tantangannya.

Dan perempuan itu menjawab, “Suamiku masih butuh doa.”

Kalimat singkat ini bukan hanya menyentuh kalbu, tetapi juga menebarkan aura positif bahkan juga menghadirkan nilai-nilai kebajikan. Orang-orang sudah tahu suaminya masih sakit, akan tetapi kalimatnya itu menyejukkan hati. Jawaban yang mengandung optimisme demi menyongsong kondisi yang lebih baik dan juga membangkitkan semangat serta rasa percaya terhadap kasih sayang Allah.

Nah, bagaimana dengan kita yang mendengarkan kalimat menyejukkan ini?




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur